Thursday, 15 January 2015
Ketika Turki Ingin Serang Eropa Karena Nabi Dihina
Pada akhir abad ke-19, tahun 1890, ketika seorang penulis Prancis, Henri de Bornier, membuat pentas drama komedi berisi penghinaan kepada Rasulullah SAW, Sultan Abdul Hamid mengirim surat kepada Prancis agar melarang pementasan drama itu di seluruh Prancis. Prancis pun memenuhi permintaan itu dan mengambil keputusan melarang pementasan drama itu.
Prancis mengirim surat kepada Sultan Abdul Hamid yang di antara isinya: “Kami percaya, keputusan yang kami ambil sebagai pemenuhan atas keinginan yang mulia Sultan akan memperkuat hubungan hangat di antara kita ..”.
Ketika penulis itu berusaha mementaskannya di Inggris dan mulai membuat persiapan pementasannya di Allesiyom yang terkenal, Sultan mengetahuinya dan mengirimkan surat agar pementasan itu dilarang. Maka pementasan itu pun dilarang. Padahal kala itu, Inggris merupakan negara adidaya, namun ia tetap meminta maaf atas persiapan pementasannya, meski drama itu belum sempat dipentaskan.
Tidak cukup sampai di situ, Sultan pun memanggil seluruh duta negara-negara Eropa yang ada di Daulah Khilafah Utsmaniyyah. Ketika mereka datang, sang khalifah membiarkan mereka menunggu berjam-jam di depan pintu kekhilafahan.
Kemudian Sultan datang menemui mereka dengan berpakaian militer sambil menjinjing sepatu, lalu dengan penuh wibawa dan nada mengancam, ia berkata kepada mereka: “la in lam tantahi faronsa ‘an fi’latiha, la anta’ilannaha bi jaisyil khilafah, kama anta’ilu hadzal hidza biyadii, fahkhrijuu qobbahakumullah”
Artinya: “Seandainya Prancis tidak menghentikan tindakannya (pementasan drama yang menghina Rasulullah), niscaya aku kerahkan pasukan khilafah yang dengannya aku perlakukan mereka seperti sepatu yang ada ditanganku ini. Maka pergilah, semoga Allah SWT menimpakan keburukan kepada kalian”.
Para duta itu pun segera menyampaikan kepada para pemimpin mereka, apa yang mereka dengar dan mereka saksikan dari sang khalifah. Terkejut mendengar acaman di atas, Ratu Inggris yang ketika itu sedang hamil, keguguran janinnya.
Betapa tidak, ancaman tegas tampak dalam ucapan sang Sultan. Al-inti’al artinya adalah Lubs an na’l (mengenakan sepatu). Dikatakan, inta’ala al-ardha, artinya saafara ‘alaiha (berjalan di atasnya), atau wathi’aha (menginjakkan kaki di atasnya).
Selain itu, sang Sultan tidak memandang bahwa tindakan penghinaan tadi, seandainya pementasan drama itu benar-benar terlaksana, hanya ulah salah seorang warga Prancis, tetapi ia menganggapnya sebagai kebiadaban yang dilakukan oleh institusi negara. Sehingga dengan perkataannya itu, tak ada satu negara pun yang bisa beralasan bahwa itu hanyalah tindakan makar warganya, apalagi berlindung di balik alasan kebebasan.
Tak heran berselang tiga tahun setelah itu, yakni pada tahun 1893, ketika tersiar berita bahwa di Roma-Italia akan digelar sebuah pementasan drama berjudul “Muhammad at-Tsaniy”. Pemerintah Italia langsung membatalkan rencana tersebut.
Sikap khalifah ini jugalah yang membuat umat menjadi tenang. Mereka merasa senang dan bangga dengan sikap sang Sultan. Berbagai surat ucapan selamat dikirim oleh kaum Muslimin dari berbagai penjuru dunia, bahkan sebagian mereka mengadakan perayaan atas kabar gembira tersebut.
Wallahu a’lam, (MediaUmat)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment