Umayyah berasal dari suku Ghiffar, keturunan Abu Dzar al-Ghiffari. Pada saat masih belia, cahaya iman yang ditebarkan Rasulullah SAW menyinari harinya. Ia pun rela menempuh perjalanan jauh demi bertemu tokoh idola sepanjang zaman, Rasulullah SAW. Umayyah menghadap Rasulullah dan berjanji untuk membantu perjuangan dakwah Islamiyah.
Pada tahun ke-7 Hijriyah atau 629 M, pasukan Rasulullah SAW bertempur melawan orang-orang Yahudi yang tinggal di Oasis Khaibar, sejauh 150 kilometer dari Madinah atau Timurlaut Semenanjung Arab. Sehingga, pertempuran itu dikenal sebagai Peperangan Khaibar. Perang itu terjadi tak lama setelah Perjanjian Hudaibiyah.
Mendengar pasukan Muslimin akan berangkat ke medan perang, Umayyah bersama beberapa wanita dari Bani Ghiffar lalu menghadap Rasulullah SAW. ''Wahai Rasulullah, kami ingin keluar bersamamu – ke Khaibar -- kami ingin mengobati mereka yang luka dan menolong kaum Muslimin semampu kami,'' ujar Umayyah seperti dituturkan Ibnu Hisyam dalam ''Para Syuhada Wanita Khaibar dan Kisah Wanita dari Suku Ghiffar.''
Rasulullah SAW pun menjawab, ''Berangkatlah atas berkah Allah SWT.'' Saat itu, usia Umayyah masih belia. ''Berangkatlah kami bersama beliau. Saat itu saya masih seorang gadis kecil,'' ungkap Umayyah. Di perjalanan, Rasulullah membonceng Umayyah di atas kudanya. Umayyah pun mengisahkan pengalaman yang tak pernah terlupakan saat bersama Rasulullah berjihad ke medan perang.
''Demi Allah, pada saat Rasulullah SAW turun di suatu pagi dari kendaraannya dan menambatkan kudanya, tiba-tiba menetes darah dariku di atas pelana kudanya. Itulah haid pertama saya di atas kuda beliau. Saya benar-benar malu saat itu,'' papar Umayyah berkisah.
Rasulullah SAW melihat apa yang dialami Umayyah dan berkata, ''Jangan-jangan kamu sedang haid?'' Umayyah pun segera menjawab, ''Benar, ya, Rasulullah.'' Lalu Rasul pun meminta Umayyah membersihkan diri dengan air bercampur garam. Sejak peritiwa itu, Umayyah selalu membersihkan haidnya dengan air yang dibubuhi garam. Bahkan, di hari wafatnya, Umayyah berwasiat untuk dimandikan dengan air yang bergaram.
Pada Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin meraih kemenangan. Pasukan Muslimin di bawah komando Ali bin Abi Thalib berhasil meruntuhkan pintu Benteng Nai'm – jantung terakhir perlawanan musuh. Benteng Na'im jatuh ke tangan pasukan Islam. Setelah itu, benteng demi benteng dikuasai. Seluruhnya dikuasai melalui pertarungan yang sengit. Orang-orang Yahudi lalu menyerah. Seluruh benteng diserahkan pada umat Islam. Nabi Muhammad SAW memerintahkan pasukannya untuk tetap melindungi warga Yahudi dan seluruh kekayaannya, kecuali Kinana bin Rabi' yang terbukti berbohong saat dimintai keterangan Rasulullah.
Dari Peperangan Khaibar itu, kaum Muslimin mendapatkan harta rampasan perang yang sangat banyak. Seusai pertempuran, Rasulullah SAW memberikan penghargaan kepada Umayyah berupa sebuah kalung. Hadiah yang diberikan Rasulullah SAW itu begitu bermakna bagi Umayyah. Ia pun tak pernah melepaskan kalung itu dari lehernya sampai jasadnya dikubur di liang lahat, sesuai wasiatnya.
Umayyah begitu bangga mendapat penghargaan kalung dari Rasulullah SAW. Kelak, kalung tersebut akan menjadi saksi atas jasa dan perjuangannya. Pada hari Kebangkitan nanti, tutur Muhammad Ibrahim Salim dalam bukunya berjudul ''Perempuan-perempuan Mulia di Sekitar Rasulullah SAW'', akan dibangkitkan sesuai kondisinya saat meninggal.
''Dari kisah ini, hendaknya para Muslimah meneladani jiwa kepahlawanan Umayyah yang mengikhlaskan dirinya untuk terjun ke medan laga, demi mengobati luka dan menolong kaum Muslimin sekuat tenaga,'' ungkap Ibrahim Salim. Kisah ini juga mengungkapkan kepada kita sikap seorang pemimpin Islam yang menghargai jasa para pejuang.(muslimina)
0 comments:
Post a Comment