Ketika para penganut kejawen mengatakan bahwa tak perlu ibadah haji ke Mekkah, cukup dengan mengunjungi borobudur dan Islam adalah agama impor yang menjajah Jawa, maka jelaslah "sikap dendam" mereka terhadap ajaran Islam yang dianggap bertanggung jawab dalam runtuhnya peradaban Jawa kuno yang bercorak Hindu-Budha. Sikap dendam ini, bukan tak mungkin dimanfaatkan oleh orang-orang kafir yang anti-Islam untuk mengadu domba.
Karena maraknya penyebaran Islam dari orang-orang Arab yang datang ke Nusantara yang dikhawatirkan akan meruntuhkan peradaban Jawa, maka pada masa raja Amangkurat I (1646-1677) perseteruan antara para penganut Islam dengan kerajaan yang masih memegang kepercayaan Jawa kuno semakin meruncing. Ditambah lagi, pemerintah kolonial yang ingin melemahkan para ulama saat itu memprovokasi bahwa ummat Islam akan melakukan pemberontakan jika mereka kuat.
Amangkurat I menganggap Islam sebagai agama baru yang berupaya menyingkirkan kepercayaan lama. Maka dengan tangan besinya ketika itu, Amangkurat I mengatakan kepada pasukannya, "segera tangkap kiai-kiai itu, santri-santri itu. Mereka membawa adat Arab, adat yang tidak cocok dengan kepribadian kita orang Jawa." Setelah itu ditangkapilah para kiai dan santri. Mereka dikumpulkan di alun-alun, kemudian dibantai secara keji. Inilah sejarah paling kelam bagi ummat Islam saat itu. Hamka menyebut ada sekitar 6000 ulama yang terbunuh.
Pasca pemabantaian itu, ummat Islam banyak yang mengungsi ke pesisir Jawa, kemudian mengembangkan ajaran Islam di wilayah ini. Sampai akhirnya upaya meng-ISlamkan kerajaan Jawa kembali dilakukan oleh para muballigh dari Arab pada masa Sultan Pakubowono IV atau Sunan Bagus dari Keraton Surakarta. Para mubaligh itu datang pada tahun 1790, dan kebanyakan dari mereka adalah pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab yang terjun langsung berdakwah ke jantung kekuasaan di Jawa untuk membersihkan segala hal yang dianggap kemusyrikan.
Para mubaligh yang kemudian disebut oleh kelompok kolonialis sebagai "Wahabi" ini sudah ada sebelum gerakan Padri berkembang di Sumatera Barat. Istilah-istilah seperti Sultan, Khalifatul Ardh Sayyidin Panatogama (Khalifah di Bumi Penata Agama), dan lain-lain mencerminkan kerajaan tersebut sudah tersentuh dengan ajaran Islam. Dalam bukunya, Hamka bahkan mengatakan, Pakubowono IV pada masa itu tertarik dengan ajaran Wahabi. Sayang hubungan raja-ulama saat itu juga tak berlangsung lama karena politik pecah-belah Belanda yang mengkhawatirkan pesatnya perkembangan Islam. Para mubaligh Islam itu kembali diperangi dan tersingkir.
Karena tak ingin ulama kembali dekat dengan kerajaan, maka pada masa selanjutnya kolonilais Belanda berusaha mendekat dan merapat ke kerajaan. Maka tak heran, jika raja-raja Jawa dikemudian hari banyak terpengaruh oleh Freemasonry dan Theosofi. Bahkan, gedung-gedung yang menjadi simbol keraton pun dijadikan tempat berkumpulnya para aktifis Freemasonry. Banyak dari keturunan keraton yang disekolahkan ke Belanda kemudian pulang menjadi Mason atau Theosof.
Para Mason dan Theosof Belanda dalam operasionalnya adalah satu paket dengan kolonilalisme, terutama dalam menyebarkan ajaran yang merusak akidah Islam. Dengan berkedok menjaga "kearifan dan tradisi lokal", mereka melakukan penelitian terhadap tradisi-budaya-kepercayaan Jawa, kemudian melakukan politik divide et impera (politik belah bambu) dengan mengatakan bahwa kelompok Islam yang puritan (yang ingin memurnikan ajaran Islam) berupaya menghilangkan "kearifan lokal" masa lalu. Stigma negatif ini sama persis dengan disuarakan kelompok liberal saat ini.
Antara upaya kolonialisme melumpuhkan akidah ummat Islam saat itu dengan kelompok kebatinan menemukan simbiosis mutualisme-nya. Pemerintah kolonial berupaya melemahkan akidah Islam dengan menebarkan propaganda tentang kebatinan. Agama seolah-olah cuma persoalan bathin. Inilah yang dilakukan Snouck Hurgronye (orientalis yang menjabat sebagai penasihat pemerintahan Hindia Belanda juga seorang theosof) yang mengatakan bahwa Islam harus diarahkan agar menjadi keyakinan yang hanya mengajarkan ibadah dalam pengertian sempit, bukan sebagai keyakinan yang meliputi seluruh gerak hidup seorang Muslim, terutama dengan menjadikan Islam sebagai dasar perjuangan dalam mengusir kolonialisme.
Sumber : Artawijaya, Gerakan Theosofi di Indonesia, Menelusuri Jejak Aliran Kebatinan Yahudi Sejak Masa Hindia Belanda Hingga Era Reformasi, Jakarta : Penerbit Pustaka Al-Kautsar, Januari 2010, Cet. Pertama, hal. 245-249
0 comments:
Post a Comment