Sunday, 31 July 2016
Mengapa Gulen Sangat Dicintai Barat?
*Tuncay Kardaş and Ali Balci
Dalam artikel di New York Times, orang yang berada di belakang percobaan kudeta militer di Turki, Fethullah Gulen menulis; “Pada waktu demokrasi Barat mencari suara moderat Muslim, saya dan teman-teman saya di gerakan Hizmet mempunyai sikap tegas melawan aksi kekerasan ekstrimis, dari serangan 11 September oleh Al Qaeda hingga eksekusi brutal baik oleh IS maupun Boko Haram.” Dia mendefinisikan dirinya sebagai “suara moderat Muslim” dibandingkan dengan “gerakan Islam militan” yang ada di seluruh dunia. Pendefinisian semacam itu telah menyebar dalam wacana di Barat , terutama sejak serangan 9/11. Beberapa buku berpengaruh tentang topik ini kemudian menjadi tren seperti “Toward an Islamic Enlightenment: The Gülen Movement”; “Islam and Peacebuilding: Gülen Movement Initiatives”; “The House of Service: The Gülen Movement and Islam’s Third Way” dan lainnya.
Oleh karena itu, tidak mengejutkan jika Graham E Fueller, mantan wakil ketua CIA melemparkan pertanyaan yang dijawabnya sendiri: “Kita membacakan isu kritis: Jenis gerakan apa yang merepresentasikan masa depan Islam (versi Amerika) di masa depan? Dengan banyak gerakan Islam, saya menempatkan Hizmet pada posisi tinggi dalam daftar gerakan Islam yang rasional, terbuka, dan secara sosial konstruktif. Hizmet bukan sekte sempit karena berakar dari Islam arus utama yang memodernisasi dirinya.”
Logika Fueller bukan merupakan pandangan asing di Barat, Ini lebih merefleksikan dasar moral Barat ketika melihat Islam secara umum dan gerakan Gulen secara khusus. Di media mainstream Barat, gerakan Gulen dan “Islam moderat” juga memiliki pengertian yang sama. Hampir setiap laporan lembaga think tank, demikian pula pelbagai karya yang ada memuji pandangan Gulen yang “modern dan moderat” karena sikapnya yang anti kekerasan dan organisasinya mempromosikan perdamaian, toleransi dan dialog antar agama.
Mengapa interpretasi gerakan Gulen semacam ini menjadi hampir hegemonik di Barat? Kami berpendapat bahwa ini terjadi karena Barat (dalam versinya) membuat dikotomi “Muslim yang baik” dan “Muslim yang buruk”. Seperti dikatakan Mahmood Mamdani, dikotomi ini yang menjadi kunci Barat mendisiplinkan masyarakat Muslim. ketika Barat berbicara tentang Islam, mereka menggunakan istilah gerakan ‘Islam’ (yang menggunakan) kekerasan sebagai upaya pendisiplinan masyarakat Muslim di seluruh dunia. Ambil contoh, ketika berpidato di PBB pada 24 September 2014. Barack Obama mengatakan,“Menjadi waktunya bagi dunia, terutama masyarakat Muslim untuk secara eksplisit, tegas dan konsisten menolak ideologi organisasi seperti Al Qaeda dan ISIL (Islamic State of Iraq and Levant)”. Apa yang Obama minta dan perintahkan kepada dan untuk masyarakat Muslim mengingatkan kita dengan apa yang Michel Foucault katakan dalam konsep klasiknya Discipline and Punish tentang logika dan bagaimana cara mendisiplinkan masyarakat luas. Bagi Foucault, “Agen penghukuman harus menjalankan kekuasaan total, dimana tidak boleh ada pihak ketiga yang terganggu; yakni individu yang hendak diluruskan harus sepenuhnya dikendalikan dalam kekuasaan yang sedang diterapkan atas dirinya.” Namun, konsep ini hanya berlaku untuk orang-orang yang sedang dipenjara dimana kekuasaan cenderung“mencakup segala gerak tubuhnya”. Hanya saja di luar penjara, orang tidak dapat “sepenuhnya dikuasai “ dan “kekuasaan total” menjadi tidak mungkin diterapkan. Dalam tahap ini, para tahananlah yang kemudian menjadi agen bagi kekuasaan yang hendak mendisiplinkan seluruh masyarakat.
Ketika individu yang “independen” dalam masyarakat didisiplinkan oleh para tahanan, maka patut dicatat bahwa mayoritas Muslim yang tidak melakukan apapun tindak kekerasan masih dapat didisiplinkan oleh keberadaan Muslim yang (pro) kekerasan. Ini adalah cara utama dimana “Muslim yang buruk” berperan dalam pandangan dunia yang didominasi Barat. Dalam titik ini pula, “Muslim yang baik” masuk ke pokok persoalan. Dengan demikian, eksistensi contoh yang dapat diterima (karena) menghormati modernitas Barat akan dapat membantu menghindari kebingungan mereka dalam mengencam kekerasan (kelompok) Muslim. Gerakan Gulen menjadi salah satu kelompok Muslim yang penting karena “mempromosikan “perdamaian, toleransi dan dialog antar agama”, menghormati nilai-nilai Barat dan menentang ‘metode kekerasan”.
Norma dan Diskursus
Salah satu cara dimana gerakan Gulen dapat secara kuat diterima oleh barat ada dalam kemampuannya untuk menghubungkan diri dengan norma-norma ‘governance’ barat yang liberal. Gerakan ini selalu beradaptasi dengan mekanisme pemecahan masalah dan model kerjasama yang bersifat liberal semacam norma Uni Eropa. Titik konfliknay dengan para pengambil kebijakan AKP ada dalam pandangan Gulen yang menganggap dirinya sebagai partner berbagi norma Barat, baik dalam ruang lingkup perdamaian dan resolusi konflik. Kapanpun AKP hendak bekerjasama dengan para stakeholder kawasan dengan sudut pandang ideologinya, maka gerakan Gulen lebih memilih menyukai pendekatan Barat.
Tidak ada ilustrasi yang lebih baik ketimbang pertikaian (dua kelompok ini) yang pecah karena serangan Israel atas aksi Freedom Flotilla Mavi Marmara pada 2010, yang menyebabkan 9 aktivis perdamaian Turki meninggal. Ketika Israel menuduh pemerintah AKP sedang beraliansi dengan Hamas, Hizbullah dan Iran, Gulen dengan cepat pula menunjukkan keberpihakannya dengan Israel, sekutu strategis Barat.
Penting untuk diingat bahwa dualisme terminologi seperti humanisme sekuler versus barbarisme relijius atau obscurantisme versus modernisme tidak semata merefleksikan permainan linguistik tentang realitas di luar namun juga kebijakan atau praktik. Ini pula yang menjelaskan alasan uatama kedekatan Gulen dengan Barat karena kemampuan kelompok ini beresonansi dengan diskursus Barat tentang HAM dan demokrasi liberal. Kelompok ini memiliki jaringan pendidikan, bisnis dan media global yang mempromosikan diskursus dan model ini. Pasca 9/11, diskursus keamanan global dan “Perang melawan Teror” dibawah arahan AS dan negara-negara Barat merepresentasikan kesempatan global bagi gerakan ini untuk mendudukkan dirinya sebagai antitesis kelompok Islam politik yang bercirikan Islam dan bersifat alternatif.
Karakter pemberdayaan atas perbedaan diskursus ini yang menjadikan gerakan Gulen sukses mengadopsi narasi tentang “keberbedaan”. Ini pada gilirannya membantu gerakan ini mendapat dukungan karena adanya identitas dan kebijakan yang dianggap sama dengan Barat. Disinilah representasi narasi Gulen tentang kebijakan luar negeri AKP di Timur Tengah yang dipandang kontroversial (dari dukungan politiknya atas Hamas dan tuduhan menjadi gerbang bagi para pejuang asing) secara efektif berfungsi sebagai strategi penting yang berdampak kepada pembentukan relasi diri/lain antara Gulen, AKP dan Barat. Hubungan ini memberikan hasil konkrit. Gerakan Gulen paham tentang ini dan sukses menyakinkan Barat tentang hal ini Pandangan Barat tercerminkan dalam identitas gerakan mereka, sementara AKP dicitrakan sebagai pemaksa yang jatuh ke tangan kelompok teroris radikal.
Maka menjadi premis pula jika para cendekiawan seperti John. A Tures -seorang profesor politik di LaGrange College,Georgia —dengan mudah mengatakan bahwa mengekstradisi Gulen ke Turki “akan menjadikannya dipenjara atau bahkan dieksekusi”. (Ekstradisi) juga akan dianggap sebagai kematian kebijakan AS di Timur Tengah karena tidak akan ada lagi kelompok moderat yang akan percaya Amerika sekalipun untuk tujuan baik. Dikotomi terbaru “gerakan Gulen yang beradab dan AKP yang tidak manusiawi” menyusul percobaan kudeta (dalam akal Barat) sebenarnya merefleksikan strategi diskursus lainnya yang memperlihatkan bagaimana politik internasional sendiri merefleksikan apapun yang Barat bayangkan dan inginkan.
(permatafm)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment