Wednesday, 27 July 2016
Di Balik Pembelaan Erdogan Terhadap Arab Spring
Seorang analis politik asal Turki, Muhammad Zaid Gull dalam program Ittijah Mu’akis, Al jazeera, pada awal Juli lalu, mengatakan bahwa sebelum Revolusi Arab Spring hubungan Turki dengan negara-negara tetangga di kawasan, Iran, Suriah, Mesir, UEA, dlsb terjalin dengan sangat baik. Akan tetapi setelah meletusnya Arab Spring hubungan antara Turki dan negara-negara tersebut mulai meregang dan terus menegang hingga sekarang. Sikap Turki yang mendukung proyek Arab Spring yang dihusung kaum islamis itu membuatnya dimusuhi dan terus digoyang oleh para penguasa tiran di negara-negara kawasan. Tidak hanya itu, negara-negara Barat yang punya kepentingan di kawasan pun ikut menggoncang Turki dari belakang.
Pertanyaan yang perlu kita jawab di sini adalah kenapa Erdogan berani mati-matian membela dan mendukung Revolusi Arab Spring, hingga ia harus membayarnya dengan segala ancaman dan goncangan yang dilakukan oleh para penguasa tiran di kawasan? Bahkan dalam situasi genting pun --ketika ia mengumumkan bahwasannya upaya kudeta telah gagal-- Erdogan mengangkat simbol rabea dan mengatakan kepada rakyatnya, “Jangan lupa dengan saudara-saudara kalian di Mesir”. Ada apa dengan Arab Spring?
Saya yakin setiap kita sepakat bahwa tidak ada pemimpin negara Islam yang sangat responsif terhadap masalah-masalah umat Islam selain Erdogan. Akan tetapi pembelaannya terhadap Arab Spring punya nilai tersendiri bagi yang mengetahui apa hakikat Arab Spring? Dan apa misi-misinya?
Dalam artikel ini penulis tidak akan mengkaji apa itu Arab Spring, karena penulis telah mengkajinya dalam beberapa kolom sebelum ini. (bisa anda buka di http://www.penapembaharu.com/2015/11/arab-spring-proyek-yang-menaruh-banyak.html)
Akan tetapi di sini penulis hanya akan menyampaikan maksud global dari Arab Spring yang mana itu merupakan syarat mutlak bagi umat Islam untuk menuju kebangkitannya.
Menurut Prof. Dr. Abu Ya’rub El Marzuqi masalah yang sangat urgen yang menghambat kemajuan umat Islam saat ini adalah masalah geografis dan historis.
Masalah geografis ini diciptakan oleh para penjajah melalui perjanjian Skyes Picot yang membagi Dunia Islam menjadi negara-negara kecil, dengan batas teroterial yang sangat memicu terjadinya peperangan diantara negara-negara Islam. Kenyataan ini akan memberikan efek negatif pada semua sektor kehidupan umat Islam:
Dari sisi politik, negara-negara Islam tidak akan pernah menang menghadapi Uni Eropa apalagi Peradaban Barat, karena tidak sebanding dan tidak seimbang dengan besarnya kekuatan yang dimiliki Uni Eropa. Dari sisi ekonomi, laju perdangan umat Islam akan terhambat, karena komoditas yang dihasilkan oleh Tunis misalkan, hanya bisa dinikmati oleh orang Indonesia dengan harga yang sangat tinggi. Dari sisi sosial budaya, negara-negara Islam akan mengalami persinggungan nilai akibat perbedaan adat istiadat setempat.
Sedangkan masalah historis, merupakan efek negatif yang paling berbahaya dari masalah geografis, di mana setiap negara-negara Islam akan mengembalikan sumber sejarahnya pada peradaban-peradaban setempat, sebelum datangnya Islam. Mesir akan merujuk ke Peradaban Firaun, Tunis ke Peradaban Bar Bar, Irak ke Pradaban Babilonia..dsb. Hal ini akan berakibat pada memudarnya semangat keislaman umat Islam. Dan pada ahirnya umat Islam akan berjalan sendiri-sendiri untuk mencapai kemajuannya.
Inilah masalah pelik yang menimpa umat Islam saat ini yang menjadikannya tidak berdaya melawan musuh-musuhnya dan tidak pernah menang menghadapi para pesaingnya, di sisi lain setiap proyek kemajuan dan pembangunan yang diupayakan oleh negara-negara Islam selalu berjalan lambat.
Para pembaharu Islam di abad modern, mulai dari Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, dan para tokoh Gerakan Pan Islamisme telah menyadari akan masalah ini, oleh karena itu mereka menyerukan persatuan umat Islam dengan ide-ide Pan Islamisme-nya. Begitu juga dengan Hasan Al Banna, Sayyid Qutb, Taqiyyuddin An Nabhani, Al Maududi, dan para tokoh Gerakan Neo Pan Islamisme lainnya berupaya untuk mengembalikan umat Islam pada payung khilafah. Dari kalangan pemikir, filosof peradaban Islam Malik Bin Nabi melontarkan gagasan Persemakmuran Islam dalam bukunya “Commonwealth Islam” untuk menyatukan negara-negara Islam.
Hal ini menunjukkan bahwa para pembaharu sangat memahami betul bahwa masalah inti umat Islam berada pada masalah geografis dan historis.
Dari pencerahan para pembaharu di abad modern, lahirlah kaum islamis menyerukan Revolusi Arab Spring untuk melampaui masalah geografis dan historis yang sangat menjerat dan mengikat umat Islam. Sebuah momentum sejarah yang diharapkan bisa mengeluarkan umat Islam dari cengkraman para penguasa tiran dan berjalan menuju khilafah ala minhajin nubuwah.
Dan penulis yakin alasan inilah yang membuat Erdogan berdiri di barisan terdepan membela dan mendukung Revolusi Arab Spring, meski ia harus membayar cost politik yang sangat mahal, karena persatuan negara-negara Islam menjadi satu-satunya syarat yang harus dipenuhi untuk mengimbangi kekuatan negara-negara adi daya. Erdogan dan kaum islamis menyadari bahwa kekuatan musuh yang sangat besar membuat umat Islam tidak akan pernah bisa menuju kebangkitan peradabannya dengan berjalan sendiri-sendiri.
Wallahu ‘Alam Bissowwab.
By: Nurfarid
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment