Sunday, 31 July 2016
Buntut Cerita dari Kejadian di Tanjung Balai. “Ormas Jadi tumbal”
Kajian Akar hingga Cabang Solusi Kisruh Tanjung Balai.
Hari ini saat mencari berita soal Tanjung Balai, ketemu lagi soal siapa propokatornya. eh…. Lagi lagi ormas disalahkan. Nih orang siapa sih GKS Gemas, jauh jauh dari solo sana sok tau soal tanjung balai. tak pernah tau pun aku siapa orang nih, dan tak penting tau… eh malah mengatakan kalau kejadian di sana didalangi ormas anti keberagaman. Pertanyaannya siapa yang anti keberagaman?
Padahal fakta dilapangan tidak ada yg mengatasnaakan ormas tapi spontan warga bahkan kebanyakan anak2 abg atau warga yg memang dh geram lihat kelakuan china..
Si Hemas mengatakan soal Protes Azan urusan sepele – sepele dari mana? ko soal budaya/kearifan lokal/SARA (khusus ajaran Islam) di lawan oleh lain agama di anggab sepele sih? kalau mau di anggab sepele harusnya kebakaran Vihara bukannya jadi urusan sepele juga? Konsisten donk….
dugaan kuat ini ada teori intelejen yang buru buru di tampik oleh kapolri kemaren kian kuat. dalam satu malam 8 tempat ibadah Budhis di bakar.
Memang kita harus melihat akar persoalannya apa. tapi buntut dari kejadian ini menjadi hal yang harus di waspadai juga.
Dua persoalan utama di tanjung Balai adalah adanya simbol dua agama di lecehkan. inilah akar persoalannya..
Soal akar persoalan, Pertama, Akar persoalannya adalah peradaban liberalisme. dalam liberalisme, kebebasan tentu saja ini menjadi hal terpenting, mind set dan harus diperjuangkan sekuat daya. Aturan apapun akan disingkirkan dan dilawan jika dianggap menjegal keinginan hawa nafsunya. Atas nama kebebasan, kesucian, dan kebenaran agama menjadi tidak ada maknanya. Dengan kata lain syariat agama harus tunduk pada nilai kebabasan buatan manusia. dari sinilah orang orang liberal itu menganggab lumrah pelarangan azan.
Kedua, Sekularisme yang mendoktrinkan pemisahan agama dari kehidupan dan negara dijadikan pondasi. Berlandaskan sekularisme itu agama Islam tidak boleh dijadikan dasar pengaturan negara dan masyarakat; pemimpin harus terbuka, tidak memihak satu agama dan pengaturan berbagai urusan rakyat tidak berpatokan pada Islam.
Sekularisme menjadikan individu tak peduli dan meremehkan hal-hal berbau agama. Sekularisme membuat orang menganggap enteng simbol-simbol agama, bahkan menganggap sikap mengagungkan simbol-simbol agama sebagai kefanatikan.
Pemerintah selalu Aneh
pemerintah dan para elitis sering muncul sikap dan respon yang salah kaprah dan keliru. Di antaranya: menganggap enteng masalah; menganggap hanya kecelakaan, hanya oknum dan lainnya. Tak jarang, kasus yang ada malah digunakan untuk menyebarkan ide-ide “menenangkan” semisal seruan umat Islam harus sabar, umat Islam jangan terlalu fanatik, umat Islam harus memperluas toleransi dan sebagainya.
Penanganan kasus juga hampir tidak pernah tuntas. Tidak ada pula hukuman yang bisa membuat efek jera.
Menurut Syaikh Muhammad bin Said al-Qahthani, setidaknya ada enam faktor seseorang terjerumus melakukan pelecehan agama. Pertama, benci dan dengki terhadap kandungan nilai-nilai agama. Kedua, celaan atau balas dendam terhadap pelaku kebaikan. Ketiga, bercanda yang berlebihan dan ingin menertawakan orang lain. Keempat, sombong dan merendahkan orang lain. Kelima, taklid buta terhadap musuh-musuh Allah SWT. Keenam, cinta harta yang berlebihan sehingga dia akan mencarinya dengan cara apapun (Al-Qahthani, Al-Istihzâ’ bi ad-dîn wa Ahluhu).
Selain keenam latar belakang individual itu, maraknya pelecehan terhadap simbol-simbol Islam khususnya juga banyak dipengaruhi oleh faktor sistem. Selama ini sistem hukum yang ada tidak memiliki ketegasan. Sanksi hukum tidak membuat jera pelaku pelecehan sekaligus gagal mencegah pihak lain untuk melakukan hal yang sama. Akibatnya, tak sedikit kasus pelecehan ini menguap begitu saja.
Dengan landasan sekularisme, paham liberalisme tumbuh subur. Kebebasan disakralkan. Penghinaan terhadap simbol-simbol Islam pun lantas dibenarkan sebagai ekspresi dari kebebasan dan bagian dari HAM.
Dalam bingkai sekularisme bermunculan paham dan perilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme, sinkretisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi azan mengiringi lagu Natal . Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian di atas karpet shalat. Aneka ragam kebatinan dianggap sebagai keragaman Islam Nusantara.
ini lebih kacau lagi. Toleransi salah arah.
Sekularisme mengharuskan negara sekular netral dari agama; tidak boleh memihak agama apapun dan harus melindungi kebebasan. Negara sekular tidak mungkin melindungi kemuliaan agama, khususnya Islam. Kalaupun memproses hukum pelaku penghinaan simbol Islam, maka itu bukan karena negara berkewajiban melindungi kemuliaan Islam, namun justru untuk mencegah anarkisme, meredakan emosi dan kemarahan umat sekaligus melindungi kebebasan dan HAM.
Nah dari sinilah munculnya singa singa kelaparan. Karena negara abai, negara tidak adil dan negara deskriminasi pada umat Islam.
Simbol-simbol Islam akan terus mengalami penghinaan selama sekularisme terus dijalankan. Sebabnya, sekularisme yang menjadi akar masalahnya. Karena itu mencampakkan sekularisme beserta ide-ide turunannya harus dilakukan. Ini seperti ketika Saad bin Abi Waqash bertanya kepada Umar ra. tentang apa yang harus diperbuat dengan buku-buku Persia yang di antaranya memuat ajaran dan filsafat Persia. Umar ra. berkata:
Buang saja buku-buku itu ke air (sungai/laut). Jika di dalamnya ada petunjuk maka sungguh Allah telah menunjuki kita dengan yang lebih baik dari itu (yakni Islam). Jika di dalamnya terdapat kesesatan maka sungguh Allah telah mencukupi kita (Târîkh Ibnu Khaldun, I/631). Wallahualam..
Sumber
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment