Wednesday, 27 July 2016
Apakah Turki Condong ke Rusia?
*Murat Yetkin
Sebulan lalu setelah pengumuman normalisasi hubungan dengan Israel, pemerintah Turki pada 26 Juni juga mengumumkan bahwa proses normalisasi dengan Rusia sedang dimulai.
Presiden Tayyip Erdoğan menulis surat kepada Presiden Vladimir Putin pada 24 Juni, yang menyampaikan kesedihan atas jatuhnya pesawat jet Rusia karena melanggar batas kedaulatan Turki pada 24 November 2015, sehingga menyulut krisis diplomatik antar dua negara.
Hanya beberapa minggu setelah surat tersebut, percobaan kudeta militer yang tidak berada dalam garis komando, namun lebih karena adanya junta dalam tubuh militer terjadi di Turki pada 15 Juli. Tentara yang loyal kepada junta menembaki warga sipil yang menentang mereka, mencoba menculik dan membunuh presiden, menculik kepala staff angkatan bersenjata dan para jenderal lainnya serta mengebom parlemen, kepolisian dan markas intelejen. Percobaan kudeta akhirnya berhasil dilumpuhkan karena kondisi politik Turki, masyarakat dan banyak aparat negara yang melawan mereka.
Presiden Erdoğan dan Perdana Menteri Binali menuduh para pelaku kudeta sebagai jaringan rahasia dalam negara yang loyal kepada Fethullah Gülen, ideolog yang tinggal di AS dan juga mantan sekutu Erdoğan sebelum berubah menjadi musuh pada 2012-2013.
Pemerintah juga segera meminta AS untuk mengektradisi Gülen ke Turki agar dapat diadili sebagai pemimpin organisasi terror (FETÖ) yang mencoba menggulingkan pemerintah dengan kekuatan bersenjata. Menlu AS John Kerry mengatakan bahwa permintaan tersebut akan disetujui jika Turki dapat memberikan bukti jelas kepada peradilan AS tentang keterkaitan Gulen dengan aktivitas terorisme atau percobaan kudeta. Erdogan juga menjalin percakapan telepon dengan Presiden Amerika Barack Obama pada 19 Juli, dimana Obama mengutuk pecobaan kudeta (empat hari setelah kudeta) dan menawarkan bantuan jika dibutuhkan. Satu-satunya bantuan yang dibutuhkan Erdogan ternyata hanya ekstradisi Gulen ke Turki.
Pekan berikutnya, Turki memberlakukan keadaan darurat dan Erdogan menyatakan kekecewaannya bahwa pemerintah yang dipilih oleh rakyat, yang juga berhasil menggagalkan percobaan kudeta militer dengan bantuan rakyat dan parlemen, tidak mendapatkan dukungan memadai dari para sekutunya di Barat.
Pernyataannya membuka kembali perdebatan tentang kemungkinan pemberlakuan kembali hukuman mati -untuk menjawab permintaan para pendukungnya- justru yang menjadi focus diskusi di Eropa. Menteri Turki untuk Uni Eropa mengatakan bahwa dirinya kecewa karena tidak ada pejabat Uni Eropa yang mengunjungi Turki untuk menyampaikan solidaritasnya. Dia benar, kecuali Menlu Inggris, Alan Duncan yang pada 21 Juli mengecam percobaan kudeta, pernyataan itu sendiri disambut hangat oleh Yildirim dan Menlu Mevlüt Çavuşoğlu.
Namun problem riil Ankara justru dengan sekutu utamanya, AS dan problem itu adalah permintaan ekstradisi Gulen.
Artikel 20 Juli yang ditulis mantan eksekutif CIA Graham Fuller memuji Gulen sebagai “masa depan wajah Islam” dan menyatakan keyakinannya bahwa Gulen tidak terlibat dalam kudeta karena dia adalah “orang yang cinta damai”. Direktur Intelejen Nasional AS James Clapper pada 21 Juli juga mengatakan tidak ada bukti yang menunjukkan keterlibatan Gulen dalam percobaan kudeta.
Saat Menteri Kehakiman akan memimpin delegasi ke Washington untuk membahas permintaan ekstradisi Gulen, Harian New York Times memuat artikel Gulen pada 26 Juli, satu hari setelah juru bicara Erdogan, Ibrahim Kalin mengatakan bahwa AS harus mengembalikan Gulen ke Turki. Dalam artikel itu, Gulen menggambarkan permintaan tersebut sebagai “pemerasan” oleh Erdogan, dan juga mendeskripsikan Edogan sebagai “penguasa otoriter”. Dan yang lebih penting dalam artikel itu, dia menegaskan bahwa gerakan “Hizmet” (yang berarti pelayanan) menerima dan menganggap nilai-nilai ideal Barat sebagai wajah moderat Islam.
Artikel Gulen ini membuat AS sulit membelanya karena dia menyeret isu hukum, dimana AS sendiri mencoba menjaganya, menjadi isu politik. Karena itu, melindungi Gulen akan dapat dianggap bermotivasi politik. Ketua partai Nasionalis MHP, Devlet Bahçeli mendesak parlemen mengklarifikasi adanya rumor keterlibatan CIA dalam kudeta. Sementara ketua partai oposisi terbesar, CHP Kemal Kılıçdaroğlu mengatakan pada 26 Juli lalu saat mengunjungi markas besar polisi khusus, bahwa AS harus mengembalikan Gulen ke Turki untuk menghadapi hukum. Kılıçdaroğlu menandaskan jika Gülen ingin membersihkan namanya, maka tidaka da jalan lain, dia harus sukarela pulang ke Turki.
Sementara itu, Pemerintah Turki pada 26 Juni mengumumkan bahwa Erdogan akan berkunjung ke St Petersburg untuk bertemu dengan Putin pada 9 Agustus sebagai kunjungan pertama sejak krisis bilateral dan menjadi kunjungan pertama pasca kudeta.
Pertanyaan yang mencuat adalah apakah Rusia, yang dinas intelejennya beberapa waktu lalu dituduh Partai Demokrat AS menyadap komunikasi elektronik mereka, akan memberikan bahan-bahan bagi Erdogan tentang keterkaitan Gulen dengan para pelaku kudeta di lapangan. Yang jelas, telah ada banyak pertukaran informasi sekarang, seperti yang diungkap Çavuşoğlu. Katanya, Turki telah memperingatkan banyak negara termasuk Republic Kyrgyzstan, tentang kemungkinan plot kudeta Gulenis yang menginfiltrasi aparat negara melalui jaringan sekolahnya. Moskow sendiri telah menutup sekolah jaringan Gulen di Rusia karena dituduh bekerjasama dengan CIA.
*Kolomnis Hurriyet
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment