Sunday, 3 May 2015
Tragedi Lidah Samad
MARI dengarkan keluhan Abraham Samad, sang ketua (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, yang sempat ditahan Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan dan Barat atas sangkaan pemalsuan dokumen. Keluhan tentang dirinya yang diperlakukan bak penjahat oleh aparat negara, tak sebanding dengan pengabdian yang diberikannya semasa aktif di lembaga antirasuah. Gara-gara ‘kebaikannya’ membantu dokumentasi seorang kenalan yang berujung sangkaan pemalsuan, Samad dipermalukan oleh aparat.
Tindakannya ‘menolong’ paspor perempuan asal Pontianak mungkin jamak. Sayangnya, Samad lupa bahwa di negeri ini, mata-mata orang berhasad yang mengawasi ada di mana-mana. Sudahlah ‘berbaik hati’ pada kasus paspor ini, pegiat antirasuah asal Makassar ini juga kurang lihai menjaga lidah. Dari lidah, persoalan banyak muncul, yang di antaranya pihak-pihak yang tak ingin Samad mengusik perbuatan jahatnya.
Kisah perjalanan Samad yang harus dituntut bui tentulah sebuah ironi. Apatah lagi bila dia harus satu sel dengan orang-orang yang pernah dijebloskannya di tempat pesakitan. Semua ini bak lakon sedih penegakan hukum, dan saat yang sama menjadi tragedi lidah tak bertulang.
Orang boleh berprasangka buruk pada penguasa soal Samad. Mulainya dari isu peredaran foto-foto mesra Samad dengan beberapa perempuan. Amat kasar memang, demi menjebak Samad, rekayasa merusak nama baik orang dengan dingin dilakukan. Samad berhak gerah dan protes atas setiap perlakukan rekayasa ini, termasuk kebingungannya dengan sikap aparat negara yang memperlakukannya bak kriminal kambuhan yang kudu diawasi pasukan bersenjata.
Keluh dan protes Samad adalah hak dirinya selaku warga yang kudu dihargai kehormatannya. Menariknya, lidah Samad yang mudah tersulut ini ingatkan sebagian orang dengan perlakuannya pada seorang ketua umum partai Islam. Ada jejak-jejak lidah Samad yang mengoyak harga diri sang ketua partai ini. Dan Samad, meski disebut-sebut pernah dicalonkan sebagai bakal anggota legislatif dari partai ini, membiarkan proses hukum ‘ajaib’ dijalankan kepadanya. Samad seakan menikmati lakon perempuan di sekitar kasus yang menjerat sang pemimpin partai. Bak pahlawan, Samad memainkan lidah untuk mengawal kasus yang dikesankan marabahaya bagi negeri ini.
Samad tampaknya sebuah cerita paradoks soal lidah. Lelaki ini sepanjang ‘kegagalan’ dirinya menjadi pendamping Joko Widodo, kian garang melawan barisan penguasa terpilih. Sayang, lidah Samad bukan saja tidak bisa dipegang, tapi dipakai sesuai kepentingan yang mengusik ambisinya. Terang saja, pihak penyokong penguasa dan para dalang di baliknya tidak ingin tinggal diam. Lidah Samad harus dihentikan. Menyedihkannya, dilakukan dengan merusak integritas moralnya dengan tudingan bermain perempuan. Sebuah hal yang didiamkan dan dinikmatinya ketika mengawal kasus sang ketua umum partai tadi. Sebagian publik pun berpikir: ini hukuman balasan pada Samad. Semacam karma.
Karma jelas tak ada dalam kamus Islam. Yang ada balasan dari Allah atas penzaliman. Soal yang dialami Samad dengan tindakan yang diperbuatnya pada orang lain, belum tentu ada kausalitas. Karena itu, baiknya kita tidak perlu melankolis mengaitkan ‘nasib’ Samad sebagai karma akibat perbuatannya pada sang ketua partai Islam. Lebih baik mengambil pelajaran dari lidah yang ditebar Samad. Mulai dari sumpahnya untuk menangani kasus Century hingga BLBI yang melibatkan nama ketua partai yang kelak diam-diam mencalonkan Samad sebagai bakal wakil presiden. Semuanya ternyata nihil hingga Samad dijerat dalam kasus pemalsuan dokumen ini.
Samad adalah sebentuk tragedi pada orang-orang yang awalnya bereputasi baik dengan niat yang sedemikian kokoh beramar ma’ruh nahi munkar. Lidah tajam mengumbar janji menemani cara berpikir yang hitam-putih. Bukan masalah asal konsisten dan siap mati-matian. Sayangnya, lidah Samad adalah artefak euforia orang yang selama ini asing dengan pusat rusaknya kekuasaan. Pandangan idealisme lambat laun harus dikompromikan dengan keadaan, terutama para kolega dan aparat negara. Lidah jumawa saja belum cukup kalau tidak diiringi kebesaran hati dan tajamnya strategi. Taktik berani dengan janji-janji pembenteng diri, jelas rapuh. Sayang, Samad acap abai dan memilih pongah dengan modal kiprah diri. Sebuah sisi kelebihan yang jadi incaran para pembencinya.
Kita harus percaya, Samad tetap lelaki baik. Ketegasan a la Ayam Jantan dari Timur, masihlah belum pupus. Kalaulah selama ia menjabat di KPK Samad bak ayam sayur, mungkin ini sebuah pelajaran agar ke depan siapa saja yang ingin berbakti membersihkan negeri ini dari korupsi, haruslah pintar mengolah lidah. Lidah untuk hanya berkata benar; bukan rekayasa. Lidah yang tidak mudah umbar janji; justru malah setia menepati. Lidah yang sigap menunaikan amanat; bukan asyik ke sana kemari memoles diri di media.
Karena masih baiknya Samad di tengah busuknya tatanan para dalang penguasa sekarang, boleh jadi ini cara Allah selamatkan dia. Selamat dari godaan nikmatnya menjadi pendamping penguasa ilusi. Selamat dari godaan nikmatnya mengumbar janji yang sehaluan dengan penguasa. Samad tampaknya bisa menafakuri kasus Antasari, yang tanpa banyak ucap kata saja ‘dibunuh’ harga dirinya dengan tudingan soal perempuan. Apatah lagi bagi dia yang getol berkata-kata. Alih-alih mendapati kasus Century dan BLBI separuh tuntas minimal, yang ada kegerahan sang pengumbar janji sibuk membela diri dari makar para pendengki. Sedih, dan menyedihkan tragedi lidah ini. [IP/yusuf maulana]
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment