Tuesday, 10 March 2015
Gara Gara E-Budgeting Ahok Bisa E-dan (Gila)
Sampai detik ini hawa mencekam akibat “Perang Urat Saraf” masih terasa antara Balaikota–kantor Gubenur DKI-dan Kebon Sirih, Kantor DPRD DKI. Sudah hampir dua bulan ketegangan politik terjadi antara petinggi di DKI Jakarta ini.
Saling tuding dan saling memaki terus terjadi baik di ruang rapat formal, terlebih “perang” pendukung di antara ke dua kubu, berbagai media juga tak kalah heboh ikut meramaikan opini. Saling dukung dan saling serang antara pro Ahok dan pro haji Lulung (DPRD DKI) mulai dari kosa kata halus sampai kata kata kasar terlontar baik saat demo maupun di dunia maya.
Semua berawal dari satu hal yaitu E-Budgeting yang paksakan sebagai basis penyusunan APBD DKI yang sedang di ributkan saat ini, Gubenur kebetulan ini selalu menggembar gemborkan di berbagai media nasional tentang urgensi E-Budgeting di lingkungan pemprov DKI Jakarta. E-Bugdeting adalah warisan program kerja Jokowi saat masih menjabat gubenur DKI, dan belum pernah terselesaikan sampai sekarang.
E-Budgeting versi Gubernur DKI Jakarta Basuki T. Purnama (Ahok) di ragukan ke efektifannya dalam hal transparansi. Tercium adanya aroma kepentingan asing di balik penggunaan sistem tersebut.Demikian disampaikan aktivis antikorupsi Adhie M. Massardi dalam diskusi publik “APBD DKI, Siapa Sebenarnya yang Begal?” di bilangan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (9/3) kemarin.
Pasalnya, E-budgeting ternyata merupakan program Bank Dunia, IMF dan ADB (Lembaga Kapitalis Asing Neoliberal) agar uang mereka bisa aman di Jakarta. Selain itu pihak yang paling diuntungkan dengan E-budgeting ini adalah pengusaha multi national corporation asing dan aseng yang bisa dengan leluasa memainkan APBD DKI Jakarta yang sebesar Rp.72 Trilyun.
“E-budgeting ini hanya untuk pengusaha asing yang ingin aman. Tidak ada jaminan apa yang terpampang di E-budgeting itu terlaksana dan tranparan,” kata Adhie Masardi, mantan jubir era Presiden Gusdur.
Dengan sistem ini Pemodal asing akan mudah bermain karena konsep melalui e-budgeting Ahok tidak perlu lagi minta persetujuan DPRD atau legilslatif. Sedangkan UU mengatur bahwa budgeting atau anggaran harus melibatkan legislatif.
Jika Ahok tetap bersikeras menggunkan sistem E-budgeting, harus dikombinasikan dengan UU yang ada. Hak anggaran atau budgeting yang dimiliki oleh legislatif jangan dianulir.
Sebagaimana di lansir oleh Rmol bahwa, menurut Adhie, dalam sistem anggaran e-budgeting, mafia-mafia lokal tidak bisa lagi bisa bermain karena sudah di-protect pemain asing tersebut. Rakyat pun tak bisa berbuat banyak untuk mengontrol saat asing masuk di APBD.
“Kalau DPRD tidak terlibat, asing dengan leluasa bisa bermain. Contohnya soal dana recovery, 100 persen asing yang atur, rakyat dan DPRD tidak bisa kontrol. Manipulasi di dana recovery (pengganti–red) itu gila-gilaan,”Tandas Adhi.
“Kepentingan asing yang gunakan dana pemerintah DKI Jakarta bisa sampai 1000 triliun. Misalnya ada Giant Seaworld yang nilainya Rp 300 triliun. Atau ada juga reklamasi yang sampai ratusan triliun. Ini diluar kontrol rakyat semua,”demikian kata Adhi.
Ahok telah bermain api dengan membakar issu APBD yang di oplos dengan E-Budgeting di berbagai media prokapitalis untuk meraih dukungan dan simpati masa. Padahal masih banyak rakyat kecil Jakarta yang belum pahami akan hal ini.
Ahok harus mengalah dan menghentikan omong kosong ini, dan lebih memprioritaskan program lainnya yang lebih mendesak untuk di selesaikan, jika tidak issu yang sudah terlanjur di “goreng media” pro Ahok ini malah akan berpotensi blunder besar bagi Ahok di kemudian hari, alih alih ributin E-budegting bukannya waras Ahok malah bisa jadi E-dan.(ac/pka-rmol).
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment