Thursday, 20 November 2014
Satu Bulan Pemerintahan Jokowi-JK Penuh Blunder Hukum dan Politik
Tak terasa, sudah sebulan Joko Widodo – JK dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI. Sayangnya, dalam rentang waktu tersebut, alih-alih menciptakan prestasi, Jokowi – JK lebih kerap memunculkan sensasi yang memicu reaksi negatif publik..
Entah disengaja atau tidak, kebijakan yang diambil Jokowi, sering memunculkan masalah hukum yang berdampak pada politik. Hal ini tentu akan mengganggu kepemimpinan Jokowi.
Keinginan Jokowi untuk lekas bekerja, justru kerap memunculkan kebijakan yang memicu reaksi negatif publik karena terkesan dibuat secara terburu-buru tanpa mempertimbangkan elemen-elemen pokok yang seharusnya menyertai program kerja dan kebijakan tersebut.
Tengok saja program pengadaan tiga kartu yakni Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Jawaban para menteri Jokowi tak kompak, mulai dari pendanaan hingga payung hukum yang menaunginya.
Kebijakan terakhir yang membingungkan dari Jokowi, tentu saja kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar MInyak (BBM) yang diumumkan Jokowi 17 November 2014 kemarin.
Persoalannya tak sesederhana sekedar mengapa harga BBM harus naik, namun yang harus disoroti, kenaikan harga BBM yang “cuma” Rp2000 itu berpengaruh ke seluruh elemen harga barang konsumsi publik. Lebih jauh, Jokowi pun diduga abai soal prosedur kebijakan.
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah pun mewanti-wanti agar Jokowi lebih hati-hati terhadap lingkar dalam (inner circle)nya. Baik staff, penasehat maupun pembisik-pembisiknya terkait saran, masukan dan nasehat yang terbukti sering berujung pada blunder secara hukum dan politik.
“Jokowi harus hati-hati pada orang-orang di sekelilingnya atau penasehat-penasehatnya. Kami ingin mengingatkan Jokowi mengenai hal ini,” kata Fahri di gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu, 19 November 2014.
Fahri menyebut ada tiga kebijakan berujung blunder yang dilakukan Jokowi yakni soal langkah Menteri Hukum dan HAM Yassona H Laoly terkait konflik di internal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), pelantikan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta serta kebijakan kenaikan harga BBM.
“Sudah sering diingatkan banyak pihak juga pakar, apa boleh buat. Kalau ada problem itu biasanya berat bagi presiden untuk menanggung beban akibat politiknya, karena kita tentu enggak mungkin diam,” kata Fahri.
Fahri menyebutkan DPR dalam menjalankan fungsi konstitusionalnya bisa melakukan hak interpelasi terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
“Kalau DPR sebagai institusi memutuskan tidak puas atas jawaban pemerintah baru diajukan hak angket atau penyelidikan atas kebijakan pemerintah tersebut,” kata Fahri.
Situasi ini tak luput pula dari perhatian koalisi pemerintahan di DPR. Fraksi-fraksi yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat meminta pemerintah untuk lebih banyak berdiskusi agar program kerja Jokowi tak menimbulkan implikasi negatif secara hukum dan politik hingga menciptakan peluang pemakzulan.
“Pemerintah harus lebih intensif berkoordinasi dengan fraksi-fraksi KIH di DPR agar dukungan politik yang akan diberikan oleh fraksi-fraksi KIH kepada program dan posisi pemerintah bisa lebih efektif,” kata Wakil Sekjen DPP PDI Perjuangan Ahmad Basarah, di Gedung DPR, Kompleks Parlemen Senayan Jakarta, Rabu, 19 November 2014.
Keinginan Fahri Hamzah dan Ahmad Basarah mengawal pemerintahan Jokowi, juga turut menjadi keinginan masyarakat. Secara sederhana dan lugas, Hafidz Ary menuliskan keprihatinannya dalam akun twitter pribadi miliknya.
“…katanya suruh kawal pemerintahan, dikritik marah”, demikian tulis @hafidz_ary pagi ini, Kamis, 20 November 2014.
Semoga Jokowi – JK dapat segera mewujudkan tagline Kerja, Kerja, Kerja dengan tepat, tak terburu-buru dan tak diburu-buru oleh apapun dan siapapun.
Sumber: Piyungan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment