Monday, 9 June 2014
Prabowo Sasaran Kebencian
Mantan perwira kelahiran Aceh ini bila bicara blak-blakan, ceplas ceplos. Bila benar, ia katakan benar. Salah ia katakan salah. Ia kini diserang banyak kalangan LSM karena membela Prabowo dalam soal kasus penculikan dan kerusuhan Mei 1998. Kivlan menyatakan bahwa ada ‘double agent’ penculikan, sehingga sampai sekarang ada beberapa orang yang diculik, sampai kini tidak kembali.
Dalam Pengajian Politik Islam di Masjid Agung Al Azhar akhir tahun lalu, ia menyatakan secara lugas tragedi reformasi. Kalau tidak terjadi reformasi, ujarnya, maka ABRI akan dikuasai oleh ABRI Islam. Kivlan menyebut periode 1993-1998 adalah "ijo royo-royo". Islamophobia terhadap Islam, khususnya di ABRI, mulai berkurang. Panglima ABRI dijabat oleh Feisal Tanjung. Bersamaan dengan itu orang-orang yang pro terhadap Islam mulai naik posisinya. "Kita menang selama lima tahun, tapi reformasi 1998 akhirnya menghancurkan semua," terangnya di Tabligh Akbar Politik Islam September 2013 lalu.
Kivlan lahir di Langsa Nanggroe Aceh Darussalam, pada 24 Desember 1946. Laki-laki berani ini, lulus SMA tahun 1965. Ia lulus Akmil angkatan 1971. Kivlan telah memangku 20 jabatan yang berbeda-beda. Sebagian besar di posisi komando tempur. Dimulai dari Komandan Peleton Akabri pada 1971, Danton Ki-B Batalyon 753 tahun 1973, hingga Danyon. Tahun 1990, Kivlan berhasil menyelesaikan pendidikan di Seskoad. Lima tahun kemudian, 1995, posisi Kasdivif-1 Kostrad disandangnya. Ia menjadi letkol saat bertugas di Timor Timur dan kemudian menjadi kolonel pada 1994. Setelah itu ia menjabat Kepala Staf Daerah Militer VII Wirabuana dan Panglima Divisi Infanteri 2 Kostrad. Jabatan terakhirnya adalah Kepala Staf Kostrad (1998)
Tahun menjelang Reformasi 1998 itu, Kivlan digolongkan barisan ABRI Hijau bersama Prabowo, Muchdi PR dan lain-lain. Sedangkan Benny Moerdani, Edi Sudrajat dkk. dimasukkan dalam kelompok ABRI Merah Putih. "Yang kiri itu Kristen, yang kanan itu Islam. Ada yang mengatakan kiri itu nasionalis, yaitu kubu Benny Moerdani dan (melawan) Pak Harto," ujar Kivlan kepada detik.com. Kivlan, yang saat itu merupakan perwira muda, berada dalam kelompok kanan bersama para perwira muda lainnya, termasuk Prabowo. "Para perwira muda ini berharap janganlah Orde Baru ini anti Islam, paling tidak netral. Maka berkumpullah para perwira yang eks-PII (Pelajar Islam Indonesia) dan HMI (Himpunan Mahasiswa Islam). Prabowo, walaupun dia sempat ikut KAPPI, ya ikut saya. Kemudian Adityawarman, kemudian Sjafrie Sjamsoeddin. Ini kita yang perwira mudalah, kita yang Akabri 70 ke atas. Kemudian ada Muchdi PR dan Syamsul Maarif. Semua perwira-perwira muda itu," jelasnya.
Suatu saat, kata Kivlan, pada tahun 1984 Prabowo dicopot dari Kopassus dipindahkan ke Kasdim. "Itu kan sakit, orang dari lapangan dipindahkan ke Kasdim. Karena apa? Karena Prabowo melaporkan ke Pak Harto ada gerakan Benny Moerdani tahun 1984. Dia (Prabowo) sunyi, lonely, maka dia mencari kawan. Dicarilah saya yang merupakan kakak kelasnya," ujarnya. Kivlan mengaku sangat dekat dengan Prabowo. "Dia itu adik kelas yang saya asuh, mulai dari tingkat satu, saya lindungi dari senior, supaya tidak dihancurkan sama senior dalam plonco dan dalam kehidupan. Itulah Prabowo yang dalam keadaan lonely mencari orang yang bisa diajak ngomong," aku Kivlan. Beberapa saat kemudian di tahun 1984, Kivlan bertemu Prabowo di Malang.
"Prabowo yang sakit hati dikeluarkan dari Den 81, ketemulah sama kita, saya, Sjafrie Sjamsoeddin, Ismet Huzairi, dan banyak yang lain, sampai terbentuklah Grup 7 untuk melawan Benny Moerdani," terangnya.
Reformasi 1998 memang menimbulkan ratusan korban jiwa melayang. Tapi anehnya sampai kini tidak jelas siapa yang bersalah. Prabowo yang saat itu dekat dengan tokoh-tokoh Islam baik dari kalangan ICMI, MUI, NU, DDII dan Muhammadiyah juga jadi korban opini. Tim Gabungan Pencari Fakta (TPGF) yang dibentuk pemerintah saat itu mendesak agar Prabowo juga diperiksa dalam masalah ini.
Berikut petikan wawancara dengan Kivlan Zen seputar Tragedi 1998. Wawancara ini dipetik dari Majalah Medium tahun 2004.
Bagaimana kisah penculikan aktivis kiri 1998?
Banyak misteri tak terjawab. Idem ditto dengan kasus penculikan sejumlah aktivis, hanya Prabowo yang menjadi korban. Padahal dalam kasus penculikan itu sebenarnya lebih tepat disebutkan pengamanan, ada beberapa atasan Prabowo pada saat ia masih komando Kopassus tahu soal itu. Seingat saya dari pelbagai penuturan banyak tokoh, penangkapan itu adalah dalam rangka pengamanan Sidang Umum MPR pada Maret 1998. Tim Mawar melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dinilai akan mengacaukan Sidang Umum MPR. Ditangkap. Bukan diculik. Kalau diculik tidak sah. Tapi kalau ditangkap sah dong. Tapi karena situasi politik sudah kacau, lalu dianggap penculikan, dan dianggap salah.
Saya juga bertanya-tanya, mengapa yang ditangkap ada yang bukan aktivis? Yang memang telah diincar Tim Mawar hanya para aktivis saja. Siapa yang menculik yang bukan aktivis itu? Apakah ada kekuatan yang tidak senang kepada Prabowo, lalu diculik pula yang lain., seperti suami artis Eva Arnaz dan lain-lainnya? Ini bukan Tim yang melakukannya, Tapi hanya Andi Arief, Pius Lutrilanang, Desmon Mahesa dan lainnya yang ditangkap oleh Tim Mawar.
Mengapa Kopassus yang menculik Pius dan kawan-kawan?
Karena Pasukan Anti Teror hanya ada di Kopassus. Polisi ketika itu belum punya Pasukan Anti Teror. Bahwa Prabowo tak eksplisit menyebutkan bahwa penangkapan itu atas perintah seseorang, saya kira ia hanya hendak menjaga nama baik seseorang supaya kekacauan dan kebencian tidak meluas. Sebab bunyi perintahnya pun sangat umum. Ambil tindakan untuk mengamankan Sidang Umum MPR.
Saya menduga ada kekuatan lain yang benci kepada Prabowo dan lalu mendompleng penangkapan aktivis itu dengan menangkap orang-orang lain sehingga terkesan Tim Mawar yang melakukannya semua. Mengapa? Saya menilai karena Prabowo dianggap menghalang-halangi upaya dari kelompok tertentu untuk mendongkel Pak Harto.
Ingat, sejak 1998 sudah ada upaya untuk mendongkel Pak Harto dengan isu suksesi kepemimpinan nasional. Saya ingat waktu Benny Moerdani gagal menjadi wakil presiden dalam Sidang Umum MPR pada Maret 1988. Saya ingat waktu itu Ibrahim Saleh dari Fraksi ABRI menginterupsi. Bahkan sampai-sampai ada yang berkata bahwa Soedharmono itu PKI.
Sejak itulah muncul isu suksesi. Prabowo tahu rancangan itu. Dia sering melaporkan hal itu kepada Soeharto. Benny berakhir sebagai Panglima ABRI pada 28 Februari 1988. Akhirnya Prabowo menjadi sasaran kebencian karena kelompok itu selalu gagal merebut kekuasaan dengan cara konstitusional, saya kira tidak mungkin. ABRI masih langsung berada di tangan Soeharto. Dia Panglima Tertinggi. Pengaruhnya masih kuat ke pasukan TNI.
Tapi isu suksesi menggelinding lagi. Naiklah Try Sutrisno. Pada 1998 dikehendaki lagi agar Wapres tetap dari TNI. Tapi Prabowo menginginkan BJ Habibie menjadi Wapres. Targetnya kelak pada periode berikutnya presiden adalah dari kalangan sipil. Karena itu dicarilah orang sipil yang pintar menjadi Wapres. Saat itu idola anak muda adalah Habibie dan memang cerdas. Terbukti gol menjadi Wapres.
Apakah benar Prabowo menyarankan agar Wiranto diganti Feisal Tanjung?
Saya tahu bahwa Prabowo menyarankan kepada Soeharto agar Panglima ABRI dipegang oleh Jenderal Feisal Tanjung. Feisal sudah ada deal dengan kelompok Prabowo. Saya bahkan pernah ikut bertemu dengan Habibie. Lalu Feisal dan Habibie pun dipertemukan. Sebetulnya Habibie bisa naik menjadi Wakil Presiden pada 1993. Tapi baru gol pada 1998. Itupun setelah Feisal menyatakan mendukung Habibie sebagai Wapres. Dirancang pula bahwa Habibie akan menjadi Presiden pada 2003. Tapi apa boleh buat Soeharto lengser pada 21 Mei 1998 dan keadaan pun berubah.
Saya menyimpulkan bahwa Prabowo yang telah menggagalkan isu suksesi sejak 1988 itu. Selain karena melapor langsung kepada Soeharto, maklum ia adalah seorang menantu. Prabowo pun menggalang kegiatan dengan beberapa perwira tinggi ABRI. Maka Feisal Tanjung naik. R Hartono pun naik menjadi KASAD. Kala itu sampai ada istilah Ijo Royo-Royo segala. Prabowo bahkan juga mendekati banyak tokoh sipil, seperti Habibie, Gus Dur, Amien Rais, Nurcholish Madjid dan lainnya untuk mendukung rancangan ini. Maksudnya agar tokoh sipil maju sebagai pemimpin nasional. Bukan ABRI. Bukan tidak senang kepada ABRI. Tapi sebaliknya mendukung di belakang layar saja.
Saya sangat khawatir kalau mahasiswa dan massa menguasai gedung DPR MPR RI. Saya juga khawatir kalau Amien Rais terus melakukan semacam people power di Monas pada 20 Mei 1998. Saya terbayang akan muncul sebuah pemerintahan revolusi. Padahal Soeharto sudah sepakat melaksanakan langkah-langkah reformasi. Saya cemaskan akan terjadi seperti Revolusi Bolshevik di Rusia atau Revolusi Perancis. Karena itu Prabowo dan Pangdam (Sjafrie Sjamsuddin) memerintahkan sekitar Monas dengan pagar kawat berduri. Tank digelar di beberapa titik strategis. Kami mengancam siapa yang masuk maka akan terjadi Tianamen kedua. Bahkan tak mustahil Amien Rais ditembak orang.
Saya segera menghubungi Amien Rais untuk membatalkan people power itu pada 17 Mei 1998. Mulanya datang Malik Fadjar seorang tokoh Muhammadiyah rekan Amien rais ke ruangan saya. Ia menitip pesan Amien Rais agar Soeharto melaksanakan reformasi. Saya katakan okelah tapi jangan didesak memakai people power. Sampaikan ke Amien Rais nanti dia ditembak atau saya tangkap. Malu dong Muhammadiyah. Daripada ditembak lebih baik saya tangkap. Saya katakan begitu kepada Malik Fadjar.
Setelah pesan sampai ke Amien Rais, saya ingat kala itu Amien Rais berkata kepada wartawan bahwa ada seorang Mayjen yang ingin menangkapnya. Akhirnya saya meminta kepada Prabowo untuk menemui Amien Rais. Saya rancang mereka bertemu pada 19 Mei 1998 pukul 16.00 di Hotel Regent bersama dengan Adi Sasono, Farid Prawiranegara, dan Fadli Zon. Saat itulah diminta lagi untuk membatalkan rencana People Power.
Amien Rais mengecek suasana malam. Ternyata benar bahwa dimana-mana ada pagar kawat berduri, pasukan tentara dan tank. Dia pun membatalkan rencana itu pada lewat tengah malam, sudah 20 Mei 1998. Saat bersejarah pun tiba. Soeharto lengser pada 21 Mei 1998.
Kabarnya Anda berperan mengganti massa mahasiswa dengan massa Islam?
Ya, walau Habibie sudah menjadi presiden, gedung DPR MPR masih dikuasai mahasiswa. Diam-diam saya diminta Prabowo untuk mengosongkan Senayan. Soalnya ini berbahaya. Pemerintahan bisa macet atau tidak efektif. Saya lalu menggalang pelbagai kekuatan untuk menghalau mahasiswa dari Senayan. Saya menghubungi pelbagai simpul gerakan. Mulai dari mahasiswa, pelajar, bahkan dari Pengajian kaum Muslimah sehingga terhimpun massa sekitar 50ribu orang.
Hanya saja isu yang diusung adalah mendukung pemerintahan Konstitusional BJ Habibie. Senayan direbut kembali seusai shalat Jumat pada 22 Mei 1998. Saya mengendalikannya hanya melalui telepon. Saya tak di lapangan. Lucu dong seorang Kepala Staf Kostrad memimpin aksi massa. Caranya pun damai. Massa yang 25ribu orang itu keluar dari Senayan sehingga banyak mahasiswa ikut larut keluar Senayan. Sisanya sedikit sangat mudah untuk disweeping. Tapi ini semacam sweeping yang damai saja.
Menurut Anda siapa yang bersalah dalam kerusuhan Mei 1998 itu?
Menyaksikan apa yang terjadi sejak 12 Mei hingga 21 Mei 1998, saya berkesimpulan telah ada pembiaran. Kenapa dibiarkan? Itu perlu dikejar. Siapa yang bertanggungjawab atas pembiaran itu? Saya kira adalah Wiranto selaku Panglima ABRI. Wiranto harus dipanggil ke DPR. Tidak lagi melalui Tim Pencari Fakta. Bukan juga melalui Pansus Trisakti saja. Jika pun melalui Pansus juga, haruslah Pansus Tragedi Mei 1998.
Saya kira adalah Wiranto selaku Panglima ABRI. Wiranto harus dipanggil ke DPR. Tidak lagi melalui Tim Pencari Fakta. Bukan juga melalui Pansus Trisakti saja. Jika pun melalui Pansus juga, haruslah Pansus Tragedi Mei 1998.
Saya melihat kenapa Senayan sampai dikuasai oleh mahasiswa tiada lain karena ketidakmampuan Wiranto. Dia tidak bisa mengendalikan massa. Jadinya ia ditekan mahasiswa. Bahkan massa yang menjarah dan membakar di banyak tempat, tak lagi terkuasai oleh Wiranto selaku Panglima ABRI. Tapi apakah hanya sekedar tidak mampu saja? Ini perlu diselidiki.
Sebetulnya jika Wiranto saat itu sudah tidak mampu mengatasi keadaan, seharusnya gentlemen dong. Ketika Soeharto pulang dari KTT Mesir, mestinya ia melapor dan bilang, ”Pak Saya keliru. Saya tidak bisa mengatasi. Saya meletakkan jabatan.” Ya seperti yang dilakukan Soemitro pada Peristiwa Malapetaka 15 Januari 1974 lalu.
Anehnya ada permintaan Mabes ABRI 1998 yang mendukung pernyataan PBNU yang menyatakan agar Soeharto mundur. Ada selebaran dari Puspen ABRI yang banyak beredar di media massa. Tapi belakangan pernyataan itu dibantah Wiranto. Katanya itu adalah pernyataan anak buah saya dan belum ia tandatangani. Pernyataan ABRI kan cukup dari Puspen saja. Tak perlu turut Pangab. Tapi karena Prabowo sudah membawa pernyataan itu kepada Soeharto pada 16 Mei 1998, Wiranto terkejut. Dari buku yang ditulis Fadli Zon, Politik Huru Hara Mei 1998, saya baca ternyata Wiranto subuh-subuh menghadap Soeharto. Ia katakan itu bukan kesalahan dirinya. Tapi kesalahan anak buahnya. Tapi katanya, ”Kalau bapak sudah tidak percaya lagi pada saya, karena Prabowo sudah melapor, maka saya bersedia meletakkan jabatan.” Tapi Soeharto berkata, ”Sudahlah kamu jalan saja terus.”
[Nuim Hidayat]
SI Online
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment