Seperti yang sudah diketahui, pada Senin 9 Juni 2014 adalah debat Capres-Cawapres pertama. Menjelang diadakannya debat ini, ada fenomena yang harus diperhatikan oleh masyarakat Indonesia. Timses pasangan nomor urut dua, Joko Widodo dan Jussuf Kalla (JK) meminta format debat dirubah.
Menurut Direktur Eksekutif Nurjaman Center for Indonesian Democracy, Jajat Nurjaman, timses Jokowi-JK menunjukan bahwa calon yang mereka usung tidak siap menghadapi debat ini.
“Inti dari perubahan format itu adalah Joko Widodo tidak mau berhadapan secara satu lawan satu dengan Prabowo Subianto. Ini adalah indikasi bahwa sebenarnya Jokowi sadar kualitasnya jauh di bawah Prabowo. Karena itu Jokowi akan berusaha sekuat tenaga untuk terus berlindung di bawah JK, yang lebih berpengalaman”, ujar Jajat dalam keterangannya, Minggu (07/06)
Timses pasangan Jokowi-JK dilaporkan ‘ngotot’ ingin merubah format debat, sementara pasangan Prabowo-Hatta ‘legowo’ dengan permintaan ini. Sehingga pada akhirnya perubahan format debat ini dilaporkan sebagai permintaan dari kedua pasangan.
“Tidak mungkin ada perubahan format debat dengan alasan agar lebih menarik, dan fakta yang beredar di lapangan juga jelas menunjukan bahwa pasangan Jokowi-JK yang meminta perubahan ini. Permintaan mereka terbukti menguntungkan, debat pertama yang seharusnya ditujukan untuk Capres, sekarang diganti menjadi debat pasangan. Ini memberi waktu lebih bagi Jokowi untuk mempersiapkan diri”, tegas Jajat.
Debat Capres-Cawapres harus menjadi indikasi penilaian bagi masyarakat Indonesia untuk menentukan pilihan. Ruang debat adalah forum netral yang secara lantang menunjukan kualitas para peserta debat, dalam hal ini Capres dan Cawapres. Siapapun yang menunjukan performa lebih baik dalam rangkaian debat yang dilakukan oleh KPU, layak mendapat dukungan rakyat, ini lebih besar dari pencitraan atau sosialisasi.
(Cr2/Mgb)
0 comments:
Post a Comment