Wednesday, 5 February 2014
Inilah Dalil yang Digunakan NU Bolehkan Lokalisasi Pelacuran
Kontroversi yang ditimbulkan oleh Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) karena menyetujui ide lokalisasi pelacuran untuk menekan penyebaran HIV/AIDS didasarkan pada Hasil Bahtsul Masail Diniyah Lembaga Kesehatan NU tentang Penanggulangan HIV-AIDS.
Dikatakan Ketua Pengurus Pusat Lembaga Kesehatan Nahdlatul Ulama (LKNU) dr Imam Rajidi SpOG dalam jumpa pers Pertemuan Evaluasi Program Penanggulangan HIV dan AIDS di Jakarta, Selasa (21/1), bahwa, “Kalau dilokalisir, lama-lama pelacurnya akan habis dengan sendirinya.”
Lembaga Bahtsul Matsail, menurut Imam, juga menetapkan bahwa memakai kondom untuk mencegah penyebaran HIV/AIDS hukumnya wajib. Namun, hal itu bukan berarti PBNU mendukung perzinaan.
Di situs resmi NU, dipublikasikan hasil Bahtsul Masail yang menjadi dasar bagi NU menyetujui dibukanya lokalisasi pelacuran:
HIV&AIDS telah benar mewabah di Indonesia. Penyebarannya pun sudah sampai pada hampir semua kabupaten di Indonesia. Penyakit HIV yang salah satu penularannya disebabkan oleh pola hubungan yang tidak aman ini sering dialamatkan pada pekerja seks yang menjadi biang keladinya. Terlepas dari itu, wabah AIDS sudah menjadi ancaman serius bagi bangsa.
Untuk meminimalisir penularan HIV, salah satu Strategi Nasional dalam penanggulangan HIV dan AIDS yang sedang dikembangkan adalah membentuk organisasi komunitas yang akan menjadi wadah bagi mereka untuk turut berpartisipasi dalam program penanggulangan HIV dan AIDS. Salah satu yang sudah terbentuk dengan fasilitasi KPAN adalah Organisasi Pekerja Seks Indonesia (OPSI) yang menghuni tepat-tempat lokalisasi. Ini bisa dipahami, karena organisasi ini dibentuk oleh negara, maka kehadiran dan aktivitasnya menjadi legal. Tindakan-tindakan stigmatik dan kriminalisasi terhadap mereka menjadi tidak bisa dibenarkan. Sementara itu, perzinaan atau seks bebas merupakan perbuatan yang dilarang agama.
Pada hakikatnya, kewajiban pemerintah adalah menegakkan keadilan bagi masyarakat sehingga kemaslahatan tercapai. Pemerintah harus membuat regulasi yang melarang praktek perzinahan dan pada saat yang sama menegakkan regulasi tersebut. Inilah maslahah ‘ammah yang wajib dilakukan pemerintah.
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة
perlakuan (kebijakan) imam atas rakyat mengacu pada maslahat”
Lokalisasi hadir sebagai solusi pemerintah untuk mengurangi dampak negatif perzinahan, bukan menghalalkannya. Dengan dilokalisir, efek negatif perzinahan dapat dikelola dan dikontrol sehingga tidak menyebar ke masyarakat secara luas, termasuk penyebaran virus HIV. Dengan kontrol yang ketat dan penyadaran yang terencana, secara perlahan keberadaan lokalisasi akan tutup dengan sendirinya karena para penghuninya telah sadar dan menemukan jalan lain yang lebih santun.
Tujuan ini akan tercapai manakala program lokalisasi dibarengi dengan konsistensi kebijakan dan usaha secara massif untuk menyelesaikan inti masalahnya. Kemiskinan, ketimpangan sosial, peyelewengan aturan, dan tatatan sosial harus diatasi. Mereka yang melakukan praktik perzinahan di luar lokalisasi juga harus ditindak tegas. Jika saja prasyarat tersebut dilakukan, tentu mafsadahnya lebih ringan dibanding kondisi yang kita lihat sekarang.
الضرر الأشد يزال بالضرر الأخف ( ابن النجيم الحنفي ، تحقيق مطيع الحافظ , الأشباه والنظائر، بيروت- دار الفكر ، ص: 96)
“Bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan bahaya yang lebih ringan.” ( Ibn Nujaim Al-Hanafi, al-Asybah wa an-Nazhair, tahqiq Muthi` Al-Hafidz, Bairut-Dar Al-Fikr, hal: 96)
فإنكار المنكر أربع درجات الأولى أن يزول ويخلفه ضده الثانية أن يقل وإن لم يزل بجملته الثالثة أن يخلفه ما هو مثله الرابعة أن يخلفه ما هو شر منه فالدرجتان الأوليان مشروعتان والثالثة موضع اجتهاد والرابعة محرمة (ابن قيم الجوزية، إعلام الموقعين عن رب العالمين، تحقيق : طه عبد الرءوف سعد, بيروت-دار الجيل، 1983م، الجزء الثالث، ص. 4)
“Inkar terhadap perkara yang munkar itu ada empat tingkatan. Pertama : perkara yang munkar hilang dan digantikan oleh kebalikannya ( yang baik atau ma’ruf); kedua : perkara munkar berkurang sekalipun tidak hilang secara keseluruhan; ketiga : perkara munkar hilang digantikan dengan kemunkaran lain yang kadar kemungkrannya sama. Keempat: perkara munkar hilang digantikan oleh kemungkaran yang lebih besar. Dua tingkatan yang pertama diperintahkan oleh syara’, tingkatan ketiga merupakan ranah ijtihad, dan tingkatan keempat hukumnya haram“. (Ibn Qoyyim al-Jauziyah, I’lam al-Muwaqi’in an Rabbi al-‘Alamin, tahqiq: Thaha Abdurrouf Saad, Bairut- Dar al-Gel, 1983. M, vol: III, h. 40)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment