Saturday, 8 February 2014
Fenomena Kawin Campur Meningkat, Kaum Yahudi Khawatir
Sebagian besar publik Israel geram ketika harian Norwegia, Dagen, memberitakan putra Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, Yair, menjalin hubungan dengan wanita non Yahudi asal Norwegia, Sandra Leikanger. Sebab, warga Israel khawatir apabila hubungan tersebut berakhir dengan pernikahan, maka dapat mengancam populasi kaum Yahudi di sana.
Dilansir VIVAnews dari kantor berita BBC, Jumat 7 Februari 2014, sang ayah, Benjamin menepis pemberitaan itu dan mengatakan bahwa keduanya merupakan teman kuliah. Tetapi, publik sudah kadung percaya dan kesal.
Saking kesalnya, salah satu organisasi Israel, Lehava, mengirimkan sebuah surat terbuka yang ditujukan kepada Yair Netanyahu dan diunggah di akun Facebook. Dalam surat itu tertulis, apabila isi pemberitaan media Norwegia tersebut benar, maka Yair dianggap telah mengkhianati makam-makam keluarganya.
“Mereka tidak bermimpi cucunya akan terlahir dari kaum non Yahudi,” tulis Lehava dalam surat tersebut.
Pada akhir pekan kemarin, sebuah program televisi Israel satir populer, Eretz Nehederet, bahkan menayangkan sebuah parodi yang diambil dari sejarah orang-orang Yahudi yang dikenal penindas, seperti Firaun dan penyidik Spanyol. Parodi tersebut kemudian ditutup dengan sindiran bagi kekasih Yair, yang mereka sebut sebagai ancaman keberadaan terbaru.
Salah satu pemeran parodi bahkan ikut menyanyikan lagi mengenai Shikse, sebuah istilah untuk menyebut perempuan non Yahudi, yang secara sarkastik bermakna dia lebih buruk dari Adolf Hitler.
Kakak Ipar Benjamin, Hagai Ben-Artzi, bahkan turut angkat bicara dan menolak keras hubungan keponakannya. Hagai memperingatkan apabila hubungan tersebut tidak segera diakhiri maka itu sama saja dengan meludahi makam kakeknya sendiri.
“Ini merupakan hal paling mengerikan yang mengancam sejarah kaum Yahudi. Menikahi kaum kafir, bahkan lebih mengerikan ketimbang meninggalkan Israel. Apabila hal ini benar terjadi, maka saya sendiri tidak tahu di mana jasad saya akan dikubur kelak,” kata Hagai.
Bagi warga Yahudi yang hidup di luar kawasan Palestina yang dikuasai Israel, pernikahan campur merupakan hal yang lumrah terjadi dan angkanya mencapai lebih dari 50 persen. Sementara di kawasan Palestina yang dicaplok Israel sendiri yang notabene warga Yahudi mencapai 75 persen dan kaum Arab 21 persen, justru malah jarang menikah.
Kemungkinan pernikahan campur di dalam negeri justru semakin besar, tatkala banyak pekerja asing yang kini masuk ke dalam daerah Palestina yang dicaplok Israel dan menyebarnya komunitas Israel di berbagai belahan dunia.
Kemarahan warga Yahudi Israel terhadap fenomena ini karena adanya kemungkinan anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut tidak lagi mewarisi tradisi Yahudi. Hal itu menyebabkan mereka khawatir bahwa bangsa yang selamat dari aksi pembantaian Holocaust, pada akhirnya akan punah.
Menurut seorang penulis dan ahli komentator mengenai Israel dan Yudaisme, Daniel Gordis, ada dua hal yang menyebabkan pernikahan campur tidak disukai kaum Yahudi.
“Satu, karena itu dilarang di dalam Halacha, atau hukum Yahudi. Hal lainnya karena kaum Yahudi telah melihat, bahwa satu-satunya cara untuk mewariskan identitas asli Yahudi kepada anaknya yakni melalui mereka ke anak-anak yang dibesarkan oleh dua orang tua yang memiliki latar belakang Yahudi,” ucap Gordis.
Anak yang dibesarkan oleh satu orang tua yang berlatar belakang Yahudi, lanjut dia, lebih rentan dan identitas Yahudinya bahkan lebih tipis dibandingkan orang tuanya.
“Memang dari jumlah statistik, semakin banyak orang yang menikahi kaum non Yahudi. Tetapi sangat tidak mungkin mengasuh seorang anak dengan keyakinan Yahudi yang sama seperti kaum sebelumnya, jika dia dibesarkan oleh seseorang yang tidak memiliki latar belakang serupa,” kata Gordis.
Hal paling nyata dari kesimpulannya itu, ujar Gordis, bisa dilihat secara langsung kehidupan Yahudi di Amerika Serikat. Ada penurunan komitmen yang besar dan identitas yang semakin tipis sejak mereka tinggal di luar Israel.
Kepala Institut Shalom Hartman, Donniel Hartman, mengatakan, karena itu lah, warga Israel ketakutan. Karena pernikahan campur di sana jarang terjadi, maka ketika ada warga Israel yang menikahi kaum non Yahudi, mereka memandangnya sama seperti orang tersebut telah meninggalkan Yudaisme.
Namun, Hartman tidak sepenuhnya setuju dengan pola pikir demikian. Melihat fenomena seperti ini, kaum Yahudi harus berani menghadapi tantangan. Menurut dia, permasalahan utama bukan bagaimana cara menghentikan pernikahan campur.
“Tetapi bagaimana cara untuk menjangkau pasangan non Yahudi dan menyambut mereka ke dalam komunitas kita,” kata dia.
Hartman mengatakan cara mereka menjangkau kaum non Yahudi harus lebih baik, supaya identitas Yahudi dapat diwariskan ke generasi berikutnya.
“Hidup di dunia modern, mengharuskan Anda untuk menjadi lebih gesit. Banyak hal yang berubah, namun saya tidak tahu apakah itu menjadi lebih buruk atau baik. Itu semua tetap bergantung kepada apa yang kita lakukan,” ujarnya.(fimadani)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment