Oleh: Rudi Hendrik*
Beberapa Minggu yang lalu, seorang Bapak merasa prihatin ketika anak lelakinya (4 tahun) selalu menonton serial kartun animasi SpongeBob pagi dan sore. Si anak begitu hapal waktu tayang serial animasi itu, padahal si anak belum bisa membaca jam di dinding ruangan.
Pagi hari, bangun tidur, si anak pasti langsung teringat dengan kartun kesukaannya. Demikian pula di kala petang.
Sang Bapak pun memutuskan untuk melarang keras anaknya menonton SpongeBob. Meski dengan susah payah, akhirnya si anak bisa tidak menonton kartun itu lagi setelah beberapa minggu kemudian.
Namun ternyata masalah tidak berhenti, kini si anak beralih gemar menonton kartun Shaum The Sheep dan Mr. Bean.
Kenapa Sang Bapak mesti resah, padahal kartun adalah tontonan yang memang pada umumnya diperuntukkan anak-anak?
Beberapa hasil penelitian tentang dampak buruk bagi anak-anak yang sangat suka mengkonsumsi film kartun, menjadi alasan bagi Sang Bapak untuk merasa khawatir. Dan ternyata beberapa film kartun tertentu ternyata memberikan pendidikan yang buruk bagi memori otak anak-anak.
Hasil penelitian SpongeBob yang mengejutkan
Sebuah penelitian yang dipimpin oleh Angeline Lillard, profesor psikologi dari University of Virginia, menyimpulkan bahwa film kartun “SpongeBob SquarePants” dapat mengganggu otak anak.
Penelitian itu dilakukan terhadap 64 anak yang dipilih secara acak untuk menonton SpongeBob SquarePants selama 9 menit dan masing-masing anak kemudian dilakukan tes fungsi otak.
Hasilnya, anak-anak yang menonton SpongeBob SquarePants jauh lebih buruk fungsi otaknya ketimbang mereka yang tidak menonton.
Hasil penelitian ini menunjukkan begitu kuatnya efek negatif dari film kartun itu, sehingga langsung menurunkan fungsi kerja otak anak.
“Itu baru beberapa menit saja. Jika anak menonton film kartun itu sampai habis, maka efek negatifnya akan jauh lebih buruk bagi otak anak,” kata Dr Dimitri Christakis, salah seorang ilmuwan anggota riset itu.
“Walaupun penelitian ini dilakukan dalam skala kecil, namun hasilnya akurat dan bisa dipertanggung jawabkan,” lanjutnya.
SpongeBob SquarePants hanyalah salah satu contoh yang diambil dalam penelitian itu. Namun, pada dasarnya, secara umum semua film kartun yang tidak bernilai pendidikan (hanya hiburan semata) memiliki dampak negatif yang sama bagi anak-anak.
Di Indonesia, SpongeBob SquarePants bukan hanya digemari oleh anak, namun juga sering kali dijadikan media bagi orang tua atau guru untuk menghindarkan anak-anak dari kebosanan saat belajar. Bahkan, tak jarang SpongeBob SquarePants justru dijadikan media bagi mereka untuk mengajari anak-anaknya.
Film kartun merusak daya konsentrasi anak
Masih dalam riset yang sama, 64 anak secara acak dibagi dalam tiga kelompok.
Satu kelompok diminta secara khusus menonton sembilan menit kartun SpongeBob SquarePants yang populer, di mana perubahan adegan terjadi pada rata-rata setiap 11 detik.
Kelompok lain mengamati kartun pendidikan dengan perubahan adegan rata-rata setiap 34 detik, sedangkan kelompok terakhir diizinkan untuk menggambar.
Setelah itu anak-anak kemudian diminta untuk menyelesaikan berbagai tes. Yang pertama, tes teka-teki, dan tes yang kedua adalah tes mengikuti petunjuk.
Hasilnya, terlihat kelompok anak yang sebelumnya diminta untuk menonton kartun lebih lambat menyelesaikan berbagai tes, bila dibandingkan dengan kelompok yang menonton kartun yang lambat dan kelompok yang menggambar.
"Percobaan memperlihatkan anak-anak menunjukkan prestasi yang lebih buruk setelah melihat kartun. Bahkan ada temuan yang didukung penelitian lain yang menemukan efek jangka panjang akan fakta negatif ini," Dr Angeline Lillard yang mempublikasikan risetnya dalam jurnal Pediatrics.
Hasil penelitian yang dilakukan Universitas Negeri Semarang tentang “dampak negatif tayangan film kartun terhadap perilaku anak” menunjukkan bahwa anak menjadi suka meniru atau imitasi dari adegan-adegan yang ada pada tayangan film kartun.
Penelitian tersebut dilakukan terhadap anak-anak usia 7 – 12 tahun di Desa Karangasem, Kecamatan Petarukan, Pemalang.
Salah satu perilaku imitasi anak di Desa Karangasem yaitu adegan perkelahian, kekerasan dan meniru jurus-jurus dari adegan tayangan film kartun. Kemudian adegan itu digunakan untuk pura-pura berkelahi dengan teman-temannya.
Walaupun hanya bermain, namun hal tersebut tidak baik karena secara tidak langsung tayangan film kartun telah mensosialisasikan adegan kekerasan.
Selain imitasi, dampak lain yang ditimbukan dari tayangan film kartun yaitu menjadikan anak malas untuk melakukan kegiatan lainnya seperti belajar, mengaji, beribadah, dan lain-lain.
Simpulan penelitian ini adalah tayangan film kartun mempunyai dampak terhadap perilaku anak antara lain adanya perilaku imitasi, membuat anak malas, susah diatur, dinasihati dan bahkan terkadang membantah orang tuanya.
Kekerasan kartun yang lucu dan menarik
Banyak film animasi kartun di televisi yang menampilkan adegan kekerasan. Ironisnya, animasi kartun di televisi bagi sebagian besar masyarakat masih dianggap sebagai film anak-anak. Padahal kita tidak tahu, film impor tersebut di negara asalnya apakah memang jelas-jelas untuk konsumsi anak-anak, atau tidak?
Selain film Naruto yang sarat dengan pesan kekerasan, contoh lain adalah film animasi kartun ‘Tom and Jerry’ yang populer dan sangat digemari oleh anak-anak. Banyak orangtua yang merasa aman-aman saja dan membiarkan buah hati mereka menonton animasi tanpa perlu mendampinginya.
Hampir di setiap penayangannya tampil penuh kekerasan maupun keisengan yang cenderung ekstrem.
Perseteruan abadi tokoh kucing dan tikus ini selalu diwarnai dengan upaya saling mengalahkan dengan melakukan pemukulan, penusukan, pembakaran, jebakan, peledakan, penyiksaan terhadap masing-masing tokoh maupun perusakan materi dan lain sebagianya.
Meski semua itu dikemas dalam balutan humor, sehingga tampak jenaka, namun bagi anak-anak yang belum bisa berpikir panjang bisa jadi apa yang diperagakan oleh tokoh Tom dan Jerry dianggap sebagai legalitas bagi mereka untuk melakukan hal serupa dalam pergaulan sehari-hari.
Hipnotis kebodohan para tokoh kartun
Karakter tokoh-tokoh kartun Amerika dan Jepang akan tampak perbedaan yang begitu mencolok. Tokoh kartun Amerika yang tidak bersifat superhero lebih cenderung kepada tokoh kocak, bodoh, konyol dengan tujuan mengocok perut anak-anak. Sangat berbeda dengan karakter tokoh-tokoh kartun Jepang yang lebih mengajarkan karakter yang positif seperti bercita-cita tinggi, ulet, pembela kebenaran, cerdas, berpendirian teguh, dan lain-lain.
Sebutlah tokoh-tokoh dalam film kartun SpongeBob, Tom and Jerry, Walt Disney (grup Mickey and Donald), Shaun and Sheep, Mr. Bean, Oscar, dan lainnya.
Karakter-karakter seperti ini akan melekat kuat di memori anak meski mereka tidak bisa menyebutkannya, bahkan mereka dengan senang akan meniru kekonyolan-kekonyolan para tokoh. Dan otak anak pun akan menjadi kerdil oleh konsumsi adegan-adegan yang konyol dan tidak ada mamfaatnya sama sekali.
Bunuh diri puncak klimaks pengaruh kartun
Mungkin adalah hal yang terlalu berlebihan jika kematian satu dua anak karena usai menonton film kartun, membuat orang tua harus menjadi paranoid (penakut) ketika melihat anaknya gemar terhadap film kartun.
Bukankah kematian bunuh diri karena cinta atau pertandingan sepak bola lebih banyak dibandingkan karena usai menonton animasi?
Namun peristiwa itu menunjukkan bahwa media tersebut mampu menggiring penggemarnya sampai ke level “bunuh diri”.
Kematian Revino Siahaya, anak berusia 10 tahun di Semarang, beberapa tahun lalu, disinyalir bunuh diri akibat meniru gaya dalam film kartun Naruto. Dia ditemukan tak bernyawa tergantung di dalam kamar tidurnya.
Berdasarkan hasil penyelidikan pihak yang berwajib, memang itdak ada indikasi adanya pengaruh film tersebut terhadap kematian Revino. Tetapi menurut KPI kasus ini menimbulkan keresahan dari masyarakat akan sinyalemen bahwa film kartun Naruto mempunyai pengaruh buruk terhadap perilaku anak.
Tahun lalu, seorang anak laki-laki yang baru berumur 14 tahun melompat dari sebuah gedung apartemen di kota Chaikovsky, Rusia, setelah mengetahui karakter anime favoritnya tewas dalam cerita tersebut.
Anime yang dia nonton adalah Naruto. Dan karakter favoritnya adalah Itachi Uchiha. Polisi mengatakan Leonid Hmelev tewas seketika karena terjun dari ketinggian lebih dari 30 meter.
Tokoh anime Itachi tewas setelah bertarung mati-matian dengan adiknya sendiri, Sasuke, dalam serial anime Naruto Shippuden episode 138.
Rupanya Leonid "hancur" hatinya setelah melihat kematian Itachi. Dia meninggalkan rumah setelah memposting sebuah pesan pendek di situs jejaring sosial yang mengatakan bahwa ia juga telah 'merencanakan sebuah akhir cerita'.
Tugas orang tua
Oleh karena itu, para peneliti berpesan agar orang tua mempertimbangkan hasil penelitian ini dan segera bertindak untuk mengantisipasi agar anaknya tidak menjadi salah satu dari mereka yang menurun fungsi otaknya akibat menonton film kartun.
Orangtua harus berperan optimal dalam mengatur waktu antara menonton televisi, belajar dan bermain bagi anak-anak agar terhindar dari dampak buruk tersebut. Dan juga memilah-milah film kartun seperti apa yang boleh dan tidak ditonton oleh anak.
Orangtua sebaiknya mendampingi anak pada saat mereka sedang menonton televisi termasuk pada tayangan film kartun. (mina).
*) Penulis adalah wartawan KBI Mi’raj News Agency (MINA).
Sumber: Mizan.com, Studi Deskriptif Fakultas Ilmu Pendidikan UNNES, Kompas.com, Jepangnet.com, Rezkirasyak Blogspot.
0 comments:
Post a Comment