Dr. Adil Shifati
Stasiun televisi BBC pekan lalu melansir hasil jajak pendapat tahunan soal popularitas 25 negara di dunia yang dipengaruhi oleh tindakan dan politiknya di kancah dunia internasional dan bagaimana dunia menilainya.
Untuk ke sekian kalinya, Israel muncul sebagai salah satu negara yang paling jelek popularitasnya kalah jauh dengan Korea Utara, Pakistan dan Iran. Sementara Jerman menduduki peringatan satu sebagai negara paling populer dunia karena dianggap paling menyumbangkan berbagai macam prestasi bagi dunia.
Sementara ‘Israel’, ia dinilai positif hanya oleh 21 persen negara yang ikut dalam jajak pendapat, 25 persennya melihat ‘Israel’ dengan nilai negatif. Inilah yang mendorong ‘Israel’ bertanya kepada diri mereka, kenapa itu terjadi? Kenapa dunia membenci ‘Israel’?
Sebagian mereka penyebabnya karena pelanggaran ‘Israel’ secara terang-terangan terhadap hukum internasional, permusuhannya terhadap tetangga mereka, dan pelanggaran berkali-kali terhadap HAM bangsa Palestina. Jika sebagian kita meyakini bahwa faktor-faktor logis tersebut cukup menciptakan pandangan negatif terhadap ‘Israel’. Para pendukung ‘Israel’ berusaha menyamakan antara anti zionisme dengan anti Semit. Padahal keduanya berbeda jauh.
Dalam falsafah politik, tidak menjadi masalah jika ada anti Zionis sebagai gerakan kebangsaan sekuler yang berusaha melakukan penafsiran-penafisiran untuk kepentingan kelompok. Tak masalah jika kejahatan dan kelicikan mereka diungkap. Sementara anti Yahudi dianggap sebagai tindakan memusuhi sebuah kelompok agama dan etnis adalah tindakan tidak terpuji secara moral dan secara legal atau hukum.
Zionisme adalah gerakan bertujuan mendirikan untuk Yahudi meski hal itu harus melakukan kekerasan dan memarginalkan pihak lain. Meski secara internasional menghadang hal ini sebagai hal sulit karena itu sebagai strategi politik dengan tujuan-tujuan kebangsaan yang berusaha merebut Palestina dari warganya untuk kepentingan Yahudi. Namun dimensi inilah juga yang menggelorakan perlawanan Palestina. Secara ril, baik Palestina sebagai pihak yang dirugikan oleh gerakan politik yang tak ragu-ragu menggunakan segala macam kekerasan atau Yahudi yang diuntungkan oleh zionis mampu mengingkari adanya anomali yang tersembunyi dalam gerakan zionis. Sesaat setelah sampai di Palestina tahun 1918, Zionis langsung merealisasikan kerja menyempurnakan proyek mereka dan mendirikan negara Yahudi; yakni dengan cara mengajukan tuntutan proyek mereka kepada penjajah mandat Inggris dan penguasa pada saat itu. Keberadaan Inggris di Palestina saat itu tidak ada keinginan lain kecuali hanya menerapkan program Zionis dan memberikan pondasi bagi berdirinya negara ‘Israel’. Inilah yang menjadi kemarahan rakyat Palestina saat itu dalam melawan eksodus Yahudi ke Palestina.
Saat itu mereka sadar bahwa akan sia-sia meminta dukungan rakyat Palestina akan proyek zionis yang ingin melepaskan rakyat Palestina dari segala tanah dan aset mereka serta diusir dari negeri mereka. Penolakan rakyat Palestina terhadap zionisme itu diwujudkan dalam Komite King – Karen yang disampaikan oleh presiden Amerika Wilson saat ke Timteng tahun 1919 untuk memastikan keinginan bangsa Arab terhadap pemerintah boneka zionis yang akan dibangun di Timur tengah.
Hasil investigasi yang dilakukan Amerika saat itu terungkap mengagetkan sebab sebagian besar bangsa di kawasan Timteng melawan proyek tersebut. Komite Arab ini menentang mandat Inggris dan kolonial Perancis yang bersembunyi di balik mafia PBB. Saat itu, bangsa-bangsa lebih mendukung mandat Amerika. Komite King – Karen menyimpulkan bahwa jika terjadi penentangan keras Zionisme di kawasan, maka tidak mungkin menerapkan proyeknya mendirikan negara Yahudi di jantung Timteng kecuali dengan kekerasan. Sayang, tak ada penghargaan terhadap komite Amerika ini. Karena tekanan Amerika saat itu masih lemah – berbeda saat setelah perang dunia II – menghadapi kolonialis klasik seperti Perancis dan Inggris yang memanfaatkan konferensi Paris dan meminggirkan bangsa Timteng serta bagi-bagi warisan negara Otoman (Utsmani) di Timur Tengah dalam sebuah kesepakatan rahasia.
Demikianlah, Perancis mendapatkan Suriah, Inggris menguasai Palestina dan Irak semuanya disponsori oleh mafia PBB. Namun bangsa-bangsa Arab saat itu masih terus melawan dan melawan dengan berbagai lebel penamaan. Mereka menolak pemerintah asing di kawasan dengan dukungan prinsip menentukan nasib yang diletakkan oleh presiden Amerika saat itu Wilson. Tuntutan mereka jelas, mewujudkan kemerdekaan dan hengkangnya imperialisme dan memberikan peluang menentukan nasibnya dan memilih penguasa-penguasanya dari intervensi asing. Peluang itu diwujudkan dalam perlawanan atas Inggris dan Perancis dengan besi dan api terutama dalam melawan zionisme yang mencaplok warisan Otoman di Palestina.
Kesimpulannya, zionisme adalah proyek politik pendudukan yang dari awal sudah ada upaya mengkritik dan usaha menghabisinya karena merugikan Palestina secara besar-besaran dengan pengusiran dari tanah air mereka selama lebih dari 60 tahun. Jadi usaha apapun untuk menyamakan antara anti Zionisme dan anti Semit. Hanyalah usaha melegitimasi popularitas ‘Israel’ yang semakin terjungkal di mata dunia. (bsyr)
Ittihad Emirat
Sunday, 9 June 2013
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment